![]() |
Sumber Ilustrasi : iStock. |
Oleh : Hamzinah, S.I.Pust.
(Pustakawan & Pegiat Media Sosial)
Kebijakan blokir rekening pasif (dormant) jika tidak digunakan dalam 2 bulan baru saja ditetapkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan klaim untuk melindungi rekening dari potensi penyelewengan dan kejahatan seperti penipuan dan pencucian uang. Apalagi rekening pasif kerap dijadikan penampung transaksi judi online.
PPATK mengungkap lebih dari satu juta rekening diduga terkait tindak pidana, termasuk seratus lima puluh ribu rekening nominee hasil jual-beli rekening ilegal dan peretasan. Tak hanya itu, PPATK juga menyoroti 140 ribu rekening dormant tercatat tidak aktif selama lebih dari satu dekade dengan nilai Rp 428 miliar.
Meski PPATK telah membatalkan pemblokiran terhadap 28 juta rekening yang mereka sebut “menganggur”, kebijakan ini terlanjur dikeluhkan rakyat. Sebagian pihak memandang bahwa beberapa orang memiliki alasan tertentu jika menaruh uang di rekening pribadi dan tidak dipakai. Mungkin orang-orang sengaja untuk menabung di rekening yang pasif tersebut. Kebijakan ini juga telah memicu sentimen publik yang khawatir mengenai keamanan keuangannya.
Sistem Kapitalisme Melegalkan Pelanggaran Kepemilikan Pribadi
Pencabutan pemblokiran rekening tak berselang lama setelah kebijakan ditetapkan, sejatinya menunjukkan kebijakan ini bermasalah sejak awal. Sebagian kalangan menyebutkan “sabotase pemerintah” lantaran mereka sengaja mengendapkan dana di rekening sebagai tabungan dan dana darurat. Kebijakan ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme sekuler telah melegalkan pelanggaran terhadap kepemilikan pribadi termasuk pemblokiran rekening yang baru-baru ini terjadi tanpa bukti hukum yang sah.
Kebijakan ini menunjukkan bagaimana negara dalam sistem kapitalisme memiliki kewenangan absolut mengintervensi aset individu atas nama “perlindungan” atau “keamanan finansial” meskipun tanpa dasar hukum yang jelas. Padahal, hak kepemilikan atas harta pribadi adalah hak fundamental yang seharusnya tidak bisa diganggu gugat kecuali ada bukti pelanggaran hukum yang sah dan jelas.
Inilah watak asli sistem kapitalisme sekuler yang menempatkan negara bukan sebagai pelindung rakyat melainkan sebagai institusi untuk melayani kepentingan segelintir elit pemilik modal, meskipun harus mengorbankan hak-hak rakyatnya. Sistem kapitalisme sekuler menjadikan negara sebagai alat penekan rakyat, bahkan memeras dan merampas harta tanpa hak. Negara bukan lagi pengayom dan penjaga hak milik individu, melainkan predator yang mencari-cari celah agar bisa menarik keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat.
Kebijakan pemblokiran rekening pasif hanyalah satu contoh nyata, bagaimana negara kapitalis meraup dana dari rakyatnya dengan dalih penegakan hukum atau pemberantasan kejahatan. Faktanya rekening-rekening tersebut milik pribadi yang barangkali disengaja dibiarkan pasif sebagai bentuk tabungan atau dana darurat. Namun, dimata negara kapitalis rekening-rekening ini dianggap “mangsa empuk” yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber dana segar, tanpa peduli apakah pemiliknya terdampak atau tidak.
Sistem Islam Menjaga Harta
Dalam sistem Islam hak kepemilikan sebagai sesuatu yang sakral dan dijaga secara mutlak. Islam menetapkan prinsip al-bara’ah al-asliyah (praduga tak bersalah) yaitu setiap individu pada dasarnya terbebas dari tanggung jawab hukum sampai ada bukti yang sah dan jelas yang menetapkan kesalahannya. Pemblokiran harta tanpa proses hukum yang adil merupakan pelanggaran terhadap prinsip ini. Islam tidak membenarkan adanya sanksi termasuk pembekuan atau perampasan harta sebelum terbukti ada pelanggaran hukum melalui proses yang syar’i.
Islam juga membagi kepemilikan harta menjadi tiga jenis, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Rekening bank milik perorangan adalah bagian dari kepemilikan individu yang hak pengelolaannya ada di tangan pemiliknya. Negara tidak memiliki kewenangan untuk merampas, membekukan atau mengintervensi harta secara sewenang-wenang kecuali atas dasar ketentuan syariat yang jelas melalui proses hukum Islam yang adil.
Negara dalam sistem Islam berkewajiban menjaga dan melindungi kepemilikan rakyatnya. Negara adalah raa’in (pengurus) yang menjaga dan mendistribusikan kekayaan secara adil bukan alat penindas rakyat. Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan keadilan bukan untuk merampas harta rakyat dengan dalih apapun. Penguasa dalam Islam terikat pada hukum syariat dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT atas setiap kebijakannya.
Rasulullah SAW bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bish shawwab
---
Editor : Vindy Maramis