Oleh: Zaymah Bubiyah
Pegiat Pena Banua
Beritakan.my.id - OPINI - Apakah cinta selalu bermakna manis dan membahagiakan? Atau justru kata ini semakin kabur maknanya, dijadikan bungkus dari narasi yang indah tapi miskin substansi? Pertanyaan ini muncul ketika kita melihat peluncuran program baru bertajuk "Kurikulum CINTA", singkatan dari Cerdas, Inklusif, Nyaman, Tertib, dan Aman.
Sekilas, program ini terdengar menjanjikan. Ia ingin menghadirkan suasana belajar yang hangat, penuh kasih, dan menghargai perbedaan. Namun pertanyaannya: apakah ini hanya permainan simbol, atau benar-benar menyasar akar persoalan pendidikan kita?
Peluncuran Kurikulum CINTA ditampilkan megah: ada anak-anak memegang bunga, senyum yang dipaksakan, dan pidato pejabat tentang "cinta dalam pendidikan". Tapi ketika kita melihat realitas di lapangan, terutama di daerah-daerah terpencil, jargon "cinta" itu seolah jauh dari kenyataan. Sekolah masih kekurangan guru, infrastruktur rusak, akses internet lemah, dan guru merasa tak dilibatkan dalam proses penyusunan program.
Ironisnya, substansi program ini tidak membahas penguatan literasi, numerasi, atau konten kurikulum nasional yang lebih mendalam.Ia lebih banyak menekankan pembentukan karakter dan suasana belajar yang “nyaman”, tanpa kejelasan arah implementasinya.
Regulasi nasional sebenarnya sudah memberikan ruang untuk nilai-nilai karakter. Dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, jelas disebutkan bahwa penguatan karakter adalah bagian penting dari proses belajar. Tapi ketika sebuah program lokal justru menjadikan akronim moral sebagai wajah utama tanpa arah yang konkret, kita patut bertanya: Apa yang sebenarnya sedang dibangun di balik kata "CINTA"?
Prof. Nurhayati, dalam satu kesempatan wawancara, menyampaikan bahwa pembentukan ekosistem pendidikan yang ramah anak memang penting, tetapi jangan sampai visi tersebut kehilangan pijakan pada kebutuhan nyata di sekolah. Sementara itu, Prof. Nasaruddin Umar pun mengingatkan bahwa cinta dalam pendidikan seharusnya tidak berhenti pada simbol, melainkan hadir dalam keadilan akses, kesejahteraan guru, serta penghargaan terhadap proses belajar yang manusiawi.
Jika cinta hanya menjadi label dan narasi, ia berisiko menutupi ketimpangan struktural dalam pendidikan. Cinta yang sejati seharusnya hadir dalam ruang kelas yang layak, guru yang dihargai, dan kebijakan yang berpihak pada peserta didik—bukan sekadar dalam video promosi atau pidato manis.
Di sinilah Islam hadir, bukan sekadar sebagai agama spiritual, tapi sebagai sistem hidup yang menyeluruh; kaffah. Islam tak hanya bicara soal bagaimana mencintai, tapi juga bagaimana menata cinta agar tidak berujung pada derita. Dalam Islam, pendidikan bukan sekadar tempat mengejar ijazah dan nilai, tapi sarana membentuk kepribadian anak agar terikat dengan Rabb-nya. Kurikulum dalam Islam bukan berlandas cinta yang tak didefinisikan, melainkan dibangun di atas pondasi akidah yang kokoh, yang melahirkan kesadaran bahwa hidup ini memiliki tujuan, dan cinta pun harus diarahkan menuju rida-Nya.
Negara dalam sistem Islam wajib hadir sebagai pelindung, bukan sekadar pengatur administratif. Ia bertugas memastikan setiap anak mendapat pendidikan Islam yang benar, setiap keluarga didukung untuk menjalankan perannya sesuai syariat, dan setiap media serta lingkungan publik bersih dari konten yang merusak akhlak. Negara Islam tidak membiarkan liberalisasi pergaulan menjalar atas nama kebebasan. Ia menutup pintu bagi pornografi, zina, dan kekerasan seksual, karena Islam memuliakan manusia, bukan menjadikannya objek syahwat.
Maka, solusi terhadap kerusakan yang kini menimpa anak-anak kita bukanlah sekadar seruan moral atau revisi kurikulum yang tambal sulam. Solusinya adalah penerapan Islam secara menyeluruh; dari individu yang bertakwa, keluarga yang sadar peran, masyarakat yang peduli, hingga negara yang menerapkan syariat sebagai hukum tertinggi. Inilah cinta yang tidak membingungkan. Cinta yang tidak menjual nama anak demi tepuk tangan. Tidak menjadikan kurikulum cinta sebagai kedok dari pembiaran sistemik. Cinta ini lahir dari langit; dari wahyu yang suci, dari syariat yang menuntun, dari sistem yang memuliakan manusia dan menjaga fitrah.
Inilah cinta dalam naungan Islam. Cinta yang tertata. Cinta yang memuliakan. Cinta yang menyelamatkan.
Wallahu a'lam bishshawwab.
Editor: Rens
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.