![]() |
Sumber Ilustrasi : iStock. |
Oleh: Dewi Noviyanti
(Aktivis Dakwah)
Dalam pidatonya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawari
mengatakan bahwa pemanfaatan pajak melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) memiliki konsep yang serupa dengan wakaf dan zakat.
Pernyataan Sri Mulyani pun mendapat kritikan dari masyarakat
dan ulama. Menyamakan makna pajak dan zakat demi mengambil keuntungan dari
rakyat adalah sebuah kedzaliman dan kejahiliyaan, karena pada dasarnya pajak
dan zakat memiliki makna yang berbeda.
Pajak adalah pungutan yang dilakukan pemerintah kepada
rakyat untuk membiayai pengeluaran penyelenggaraan jasa dan kepentingan umum. Padahal,
negeri ini sangat kaya dengan sumber daya alamnya, sehingga tidak seharusnya
menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan kas negara. Namun, dalam sistem
ekonomi kapitalisme, pajak merupakan sebuah keniscayaan.
Negara yang mengadopsi sistem kapitalisme -termasuk
ekonominya- akan memberikan peluang pada para kapital untuk mengambil alih
pengelolaan sumber daya alam, dengan memfasilitasi mereka melalui regulasi dan
undang-undang, seperti UU Minerba.
Karena pengelolaan sumber daya alam telah diserahkan kepada
para kapital, maka negara akan mengambil langkah efektif untuk mendanai APBD,
yaitu dengan penarikan pajak. Inilah skema yang lazim terjadi dalam sistem
kapitalisme.
Yang juga menjadi problem adalah soal pendistribusian
manfaat pajak oleh negara. Seringkali manfaat pajak justru tidak tepat sasaran.
Negara lebih memprioritaskan program-program dan proyek-proyek pembangunan yang
tidak berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat, seperti program MBG
yang menelan anggaran yang besar, serta infrastruktur yang hanya dinikmati
oleh segelintir orang.
Belum lagi peluang penyalahgunaan dana pajak dengan cara
dikorupsi, atau yang terbaru adalah untuk menaikkan tunjangan para pejabat dan
anggota dewan. Hal ini tentu sangat melukai hati masyarakat.
Kemudian, pajak juga tidak bisa disamakan dengan zakat,
karena secara fundamental keduanya sangat berbeda.
Zakat merupakan instrumen agama. Zakat wajib dikeluarkan
oleh setiap muslim apabila telah mencapai syarat yang ditetapkan (nisab) dan
diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (asnaf). Zakat merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan
oleh Allah dan ketentuannya pun telah ditetapkan oleh syariat.
Zakat bertujuan untuk menyucikan dan membersihkan harta dan
memberikan manfaat bagi umat lain yang kurang mampu. Pendistribusian kekayaan
dari yang mampu kepada yang membutuhkan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan
sosial sehingga dengan zakat mampu meningkatkan kesejahteraan umat.
Pengelolaan dan Pendistribusian Zakat Masa Daulah Islam
Pada masa kekhilafahan Abbasiyah, Khalifah Harun Al Rasyid telah
menorehkan sejarah yang gemilang. Hal ini dapat dilihat dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat. Semua ini di
danai oleh Baitulmal yang salah satunya bersumber dari zakat. Pengelolaan dan
pendistribusiannya pun tepat sasaran. Pemilihan petugas pajaknya pun cukup
selektif dengan syarat memiliki ketakwaan individu dan ketundukan terhadap
hukum syara'. Membedakan antara pemungut zakat dan dan kharaj karena harta
zakat tidak selayaknya bercampur dengan harta kharaj. Kewaiiban zakat tidak
mengikuti keperluan negara serta kemaslahatan umat seperti pemungutan pajak
yang terus dilakukan bahkan terus adanya penambahan meski tidak untuk urgensi
negara.
Landasan yang dipakai dalam pendistribusian zakat adalah firman
Allah Swt :
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang fakir,
miskin, amil zakat, mualaf, hamba sahaya, membebaskan orang yang berhutang,
fisabilillah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban
dari Allah. Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.(Q.s At Taubah:60)
Dari penjelasan ini, maka zakat tidak bisa disamakan dengan
pajak, karena pajak berangkat dari sistem kapitalisme yang menafikkan peran
agama, sedangkan zakat merupakan instrumen agama yang meniscayakan keimanan dan
aqidah Islam di dalamnya.
Allahu a'lam bishowwab
---
Editor : Vindy Maramis