Ilustrasi Pinterest
Oleh: Saffana Afra
(Aktivis Mahasiswa)
Beritakan.my.id, Opini_ Presiden RI Prabowo Subianto meluncurkan program Sekolah Rakyat (SR) sebagai salah satu upaya memutus rantai kemiskinan yang telah berlangsung dalam beberapa generasi. Fokus utama program ini adalah memberikan akses pendidikan kepada anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang selama ini tertinggal dari sistem pendidikan formal karena keterbatasan ekonomi. Pendidikan dianggap sebagai jembatan emas untuk keluar dari kemiskinan, dan Sekolah Rakyat diharapkan menjadi katalisator dari perubahan tersebut (Kompas.com, 21/07).
Namun, di balik gempita peluncurannya, banyak pihak mempertanyakan sejauh mana efektivitas SR dalam menyelesaikan problem kemiskinan yang bersifat struktural. Pendidikan memang penting, tetapi perlu disadari bahwa kemiskinan hari ini tidak sekadar disebabkan oleh kurangnya akses pendidikan, melainkan oleh ketimpangan sistemik yang dihasilkan oleh sistem hari ini yang rusak. Di sinilah muncul keraguan bahwa Sekolah Rakyat hanya akan menjadi solusi jangka pendek, bahkan hanya semacam kosmetik kebijakan, yang gagal menyentuh akar masalah.
Penting untuk dipahami bahwa kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia bukan semata-mata disebabkan oleh tidak adanya akses pendidikan. Kemiskinan hari ini bersifat struktural, yaitu kemiskinan yang muncul sebagai akibat langsung dari sistem negara yang sama sekali tidak mensejahterakan rakyat. Sistem yang hanya menguntungkan oligarki dan tidak peduli terhadap rakyat.
Bila SR ini dibangun dengan dalih mengurangi pengangguran karena hari ini sebagian besar lapangan pekerjaan minimal harus berijazah SMA, apakah itu satu-satunya penyebab banyaknya pengangguran? Faktanya kondisi ini diperparah dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di berbagai sektor, seiring dengan gelombang otomatisasi, krisis ekonomi global, dan ketergantungan tinggi pada investasi asing. Di sisi lain, lapangan pekerjaan yang layak dan berkelanjutan semakin langka, sehingga banyak lulusan, baik dari sekolah negeri, swasta, maupun program seperti SR, tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Artinya, pendidikan tanpa dukungan ekosistem ekonomi dan kebijakan yang sehat tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan penghidupan.
Permasalahan ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang menjadi fondasi kebijakan ekonomi dan sosial Indonesia saat ini. Kapitalisme menempatkan negara bukan sebagai pengurus rakyat, tetapi sebagai regulator yang melayani kepentingan oligarki dan korporasi besar. Dalam sistem ini, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Negara hadir hanya ketika pasar gagal, itu pun dengan kebijakan tambal sulam seperti bansos, kartu bantuan, dan kini, Sekolah Rakyat.
Akibatnya, layanan pendidikan pun terfragmentasi, hanya mereka yang mampu bisa menikmati sekolah dengan kualitas terbaik, sementara rakyat miskin harus puas dengan layanan minimalis yang disediakan negara secara terbatas dan penuh syarat. Program SR, meski gratis, justru memperkuat narasi bahwa negara hanya turun tangan ketika rakyat berada dalam titik nadir. Padahal, peran negara seharusnya adalah memastikan setiap warga negara, tanpa kecuali, mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dan setara.
Jika benar dengan alasan pendidikan adalah kunci membebaskan rakyat dari kemiskinan, maka mengapa sekolah negeri tidak menjadi fokus utama pembenahan? Hingga hari ini, banyak sekolah negeri masih menghadapi berbagai tantangan mendasar: mulai dari infrastruktur yang rusak, keterbatasan alat belajar, kekurangan guru, hingga kualitas pengajaran yang tidak merata. Alih-alih memperkuat fondasi ini, pemerintah justru menciptakan program baru yang berdiri sendiri di luar sistem pendidikan nasional, sungguh sebuah kebijakan populis yang tak solutif.
Program-program seperti Sekolah Rakyat atau Makan Bergizi Gratis (MBG) seringkali hadir menjelang atau setelah kontestasi politik, dan tampak dirancang untuk memperoleh simpati, bukan menyelesaikan masalah secara sistemik. Kebijakan seperti ini tidak menyentuh akar persoalan, dan dalam jangka panjang berpotensi menciptakan ketergantungan baru terhadap bantuan negara tanpa mendorong perubahan struktural yang dibutuhkan masyarakat.
Bagaimana Islam mengatur, sungguh berbeda dengan kapitalisme. Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan pokok rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara, bukan komoditas yang dapat diperjual belikan. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), pendidikan menjadi tanggung jawab penuh negara, mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi, dengan pembiayaan yang ditanggung dari kas negara, tanpa membedakan status sosial rakyatnya.
Lebih dari itu, negara dalam Islam juga berkewajiban menjamin kesejahteraan setiap warga, termasuk ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak. Negara berperan sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung), bukan sekadar regulator. Seperti dalam hadits “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Dalam Islam, negara memiliki sumber-sumber pendapatan negara yang kuat dan independen, seperti kharaj, jizyah (pajak atas non-Muslim), fai (rampasan tanpa perang), dan pengelolaan kekayaan alam milik umum yang tidak boleh diprivatisasi. Sumber daya alam akan dikelola oleh pemerintah tanpa campur tangan asing dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat. Semua ini menjadikan negara tidak bergantung pada utang luar negeri, sehingga dapat fokus sepenuhnya pada pelayanan kepada rakyat. Dan semua ini hanya bisa terwujud bila Islam diterapkan secara menyeluruh (kaffah) dalam tiap sendi kehidupan, termasuk kehidupan negara yang hanya bisa dengan Khilafah.
Sekolah Rakyat bisa jadi merupakan langkah taktis pemerintah untuk memberikan solusi cepat terhadap keterbatasan akses pendidikan bagi masyarakat miskin. Namun, program ini tetap bersifat parsial dan reaktif, tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan struktural yang terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme.
Selama sistem ini tetap dipertahankan, maka problem kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan akan terus berulang. Sedang Islam menawarkan solusi sistemik dan ideologis yang mampu menyelesaikan masalah hingga ke akarnya, yakni dengan menempatkan negara sebagai pelayan sejati rakyat dan menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Sudah saatnya umat Islam tidak hanya puas dengan solusi tambal sulam, tetapi mendorong perubahan mendasar menuju sistem yang benar-benar adil, independen, berpihak kepada rakyat, dan tentunya diridhai oleh Sang Pencipta, Allah SWT.