Oleh :Tiktik Siti Mukarromah
Pegiat Literasi
Beritakan.my.id - OPINI - Di tengah gemuruh pembangunan dan jargon kemajuan yang terus digaungkan, Indonesia kembali dibungkam oleh realitas kelam yang menampar nurani. Sebuah jaringan perdagangan bayi lintas negara berhasil diungkap Polda Jawa Barat, dengan melibatkan 13 tersangka dan masih memburu 4 pelaku lainnya. Tak hanya publik yang terperangah, tetapi kepercayaan pada sistem negara kembali tercabik. Ibu-ibu yang semestinya dilindungi, malah dijadikan obyek eksploitasi. Bayi-bayi yang baru lahir dijadikan komoditas yang dijual belikan dengan nominal belasan juta rupiah. Ironisnya, di antara tersangka terdapat oknum pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), aktor internal birokrasi negara yang memiliki wewenang atas data vital rakyat. (Media Indonesia, 18/07/2025)
Kasus ini mencuat setelah laporan seorang ibu yang merasa ditipu dalam proses adopsi bayi melalui media sosial. Fakta yang lebih menyayat hati adalah bahwa ibu kandung dari bayi-bayi tersebut hanya mendapat uang antara Rp11 hingga Rp16 juta.
Sementara di sisi lain, jaringan gelap ini menjual bayi-bayi itu ke luar negeri termasuk ke Singapura. Seperti yang diungkapkan dalam salah satu media online bahwa Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menegaskan bahwa keterlibatan ASN Dukcapil ini bukan kali pertama. Ia menyebut bahwa sebelumnya juga telah terjadi kasus serupa berupa pemalsuan dokumen kependudukan, mulai dari Kartu Keluarga, akta kelahiran, KTP, hingga paspor. Khozin pun mendesak audit internal di Kemendagri atas lemahnya sistem tata kelola administrasi yang berulang kali bocor dan dimanipulasi oleh oknum di dalamnya. Sementara Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan belum mendapat laporan detail terkait keterlibatan ASN, sembari melempar tanggung jawab kepada kepala daerah sebagai pengawas teknis Dukcapil. (Kompas.com, 18/07/2025)
Kasus ini memperlihatkan bukan hanya krisis moral individu, tapi juga kegagalan struktural negara dalam menjalankan fungsi perlindungan terhadap rakyat, terlebih kepada kelompok paling rentan yakni ibu dan anak. Negara seolah kehilangan taringnya di hadapan para mafia birokrasi dan jaringan kriminal yang menyusup ke dalam sistem. Maka pertanyaannya bukan sekadar siapa yang bersalah, tapi juga mengapa hal ini terus terjadi dalam sistem kita?
Akar Masalah: Politik Administratif dalam Sistem Kapitalisme
Ketika negara membiarkan birokrasi tetap berjalan atas logika untung rugi dan loyalitas terhadap kekuasaan sekuler, maka integritas bukan lagi harga utama melainkan hanyalah sebuah ilusi belaka. Dalam sistem demokrasi sekuler, posisi jabatan birokrasi menjadi lahan yang sangat empuk bagi siapa saja yang ingin “bermain” di atas hukum. Tak jarang ASN atau pejabat publiklah yang menjadi bagian dari jaringan kejahatan terorganisir, karena sistem ini memungkinkan terjadinya celah-celah kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh oknum.
Adminduk (Administrasi Kependudukan) seharusnya menjadi garda terdepan dalam urusan pelayanan negara kepada rakyat. Namun ketika ia direduksi hanya menjadi instrumen teknis dan bukan bagian dari amanah syar’i, maka kepentingan pribadi dan kekuasaan akan terus menang. Sehingga rakyatlah yang menjadi korban dari sebuah sistem yang tidak pernah dibangun atas dasar ketakwaan dan takut kepada Allah. Penjualan bayi, pemalsuan dokumen, suap-menyuap dalam pengurusan data kependudukan, hingga lemahnya pengawasan administrasi vital rakyat, semuanya berpangkal pada sistem yang tidak menjadikan hukum syariat sebagai pondasi.
Kebobrokan sistemik ini sejatinya adalah buah dari penerapan sistem sekuler yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum, bukan Allah. Jelasnya, sistem yang membiarkan pengurusan rakyat hanya dilandasi kepentingan materialistik dan tidak menempatkan negara sebagai penanggung jawab utama dalam menjaga keturunan (hifzh al-nasl). Fakta keterlibatan pegawai negara dalam praktik jual beli bayi menunjukkan bahwa sistem pemerintahan saat ini telah gagal dalam menjalankan peran utamanya sebagai ra’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung umat).
Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam tidak cukup pada aspek ibadah personal saja, melainkan wajib diterapkan juga dalam struktur politik, sistem sosial, dan perundang-undangan. Ketika sistem administrasi dan data kependudukan dikelola tanpa keimanan dan akuntabilitas syar’i, maka manipulasi dan kebusukan birokrasi menjadi keniscayaan.
Dalam Islam, pengelolaan administrasi seperti pencatatan kelahiran dan kependudukan berada dalam tanggung jawab negara yang amanah, dan para pengelolanya adalah individu-individu bertakwa. Merujuk pada kisah Khalifah Umar bin Khattab tentu menjadi pelajaran berharga. Beliau pernah menegur keras seorang pegawainya yang menyalahgunakan kekuasaan sekecil apa pun. Bahkan saat ada rakyat yang tidak diberi keadilan hanya karena terlambat mendapat jatah atau upah maka Umar berkata tegas:
“Jika seekor keledai tergelincir di Irak maka Umar takut akan ditanya oleh Allah, mengapa jalan tidak kau ratakan, wahai Umar?”
Penggalan ini menunjukkan bahwa negara dalam Islam memiliki rasa tanggung jawab spiritual yang tinggi terhadap urusan rakyatnya, bukan sekadar administratif.
Menjual manusia apalagi bayi tak berdosa dengan dalih adopsi atau kesulitan ekonomi jelas bertentangan dengan maqashid syariah, yakni penjagaan terhadap jiwa dan keturunan. Lebih dari itu Rasulullah saw. pernah memerintahkan agar negara menjamin kebutuhan hidup warga yang kesusahan bukan membiarkannya menjual anaknya. Dalam sejarah peradaban Islam, lembaga Baitul Mal berfungsi sebagai institusi keuangan negara yang siap memberikan nafkah bagi rakyat miskin, anak yatim, perempuan tidak bersuami, hingga fakir miskin. Tidak ada ruang bagi rakyat berjualan anak untuk bertahan hidup.
Syekh Taqiyuddin dalam kitab At-Takattul Hizbi juga menjelaskan pentingnya membentuk kepribadian ideologis dalam tubuh masyarakat dan pejabat pemerintahan: “Seseorang tidak akan mampu menjaga amanah umat jika tidak menjadikan akidah Islam sebagai asas berpikir dan bertindak.”
Inilah yang seharusnya menjadi acuan standar pengangkatan pegawai negeri atau birokrat. Namun saat ini, jabatan diraih dengan kolusi, nepotisme, bahkan transaksi politik. Maka jangan heran jika birokrasi justru menjadi tempat paling subur bagi mafia administrasi dan sindikat kejahatan.
Pandangan Islam: Anak adalah Amanah, Negara Wajib Menjamin Perlindungan
Dalam sistem Islam setiap anak yang lahir adalah amanah yang harus dijaga dan dipelihara atas haknya. Firman Allah Swt. dalam Al-Quran:
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَٰقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
"Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu." (QS. Al-Isra: 31)
Jual beli bayi dalam perspektif syariat adalah kejahatan yang sangat besar. Ia mengandung unsur eksploitasi terhadap manusia, pelanggaran terhadap garis nasab, serta bentuk nyata dari penghinaan terhadap martabat insani yang dijamin oleh syariah. Rasulullah saw bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka dalam konteks ini negara adalah pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah karena membiarkan kedzaliman terjadi atas warganya. Negara Islam bukan hanya menjamin perlindungan fisik warga, tetapi juga menjamin sistem sosial dan administrasi yang bersih dari praktik kebohongan dan pengkhianatan.
Islam bukan hanya mengecam kejahatan, tapi juga membangun sistem untuk mencegahnya secara struktural. Ini menjadi penegas bahwa akar kejahatan seperti perdagangan bayi tidak bisa diselesaikan hanya dengan penangkapan pelaku. Harus ada perubahan total dalam sistem yang menaunginya. Dalam sistem Islam, pemalsuan dokumen, penjualan manusia, dan penyalahgunaan jabatan akan dihukum tegas dengan sanksi syar’i, seperti potong tangan bagi pencuri atau hukuman ta’zir bagi pengkhianat negara. Pegawai negara yang menyalahgunakan jabatan akan dihukum dan dicopot jabatan, dan sistem pengawasan akan berjalan dengan mekanisme hisbah (pengawasan publik) yang independen dari eksekutif.
Dunia terus dirundung krisis, tetapi Islam tetap tegak sebagai solusi abadi. Bukan hanya dalam ranah ibadah, tetapi juga dalam sistem politik, sosial, dan administrasi negara. Kasus sindikat jual beli bayi ini hanyalah satu dari sekian banyak manifestasi kegagalan sistem sekuler. Jika rakyat masih saja menaruh harapan kepada tambal sulam reformasi birokrasi, maka mereka sedang menggenggam fatamorgana.
Sudah saatnya kita memandang Islam bukan hanya sebagai agama pribadi, tapi sebagai deen yang menyeluruh. Saatnya kembali kepada sistem Ilahi yang telah terbukti melahirkan generasi dan peradaban terbaik. Karena hanya di bawah naungan kepemimpinan sistem Islam kaffah rakyat akan jelas dilindungi, keadilan ditegakkan, dan para bayi sekalipun belum bisa menangis akan didengar suaranya oleh negara.
Islam memberikan solusi fundamental terhadap persoalan ini, bukan hanya berupa pergantian individu, melainkan pergantian sistem secara menyeluruh. Sistem Islam yang diterapkan menjadikan syariat sebagai satu-satunya standar hukum dan kebijakan. Kriminalitas dalam birokrasi akan diberantas secara sistemik melalui tiga pilar utama yakni ketakwaan individu, sistem pemerintahan yang tegas dan transparan, serta sistem ekonomi yang menyejahterakan seluruh rakyat.
Penegakan sistem Islam seperti ini bukan sekadar retorika, tapi keharusan. Karena Islam bukan hanya agama, tapi juga sistem hidup (nizhamul hayah), yang berasal dari Dzat Yang Maha Adil, yang Maha Mengetahui hakikat manusia, dan yang menjanjikan keadilan hakiki bagi seluruh umat manusia.
Wallaahu’alam bisshawab.
Editor: Rens
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.