![]() |
| Ilustrasi: Google |
Oleh Umi Lia
Member Akademi Menulis Kreatif
Beritkan.my.id - OPINI - Kasus keracunan makan bergizi gratis (MBG) untuk ke sekian kalinya kembali terulang. Yang terbaru terjadi di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Ada 456 siswa menjadi korban. Karena itu, program ini untuk sementara dihentikan oleh gubernurnya, penyelidikan pun dilakukan oleh pihak yang berwenang. Polda dan Polres setempat melakukan investigasi mulai dari dapur hingga penyaluran. (Kompas.com, 30/8/2025)
Selain di Kabupaten Lebong, ada juga korban keracunan MBG di Lampung Timur, Sragen dan di tempat lainnya. Dari hasil penelitian laboratorium di Sragen, penyebab keracunan tersebut adalah sanitasi lingkungan yang kurang diperhatikan dan menjadi persoalan utama. Kepala BGN (Badan Gizi Nasional) mengintruksikan agar kegiatan satuan pemenuhan pelayanan gizi (SPPG) dihentikan sementara.
Meski tujuan awal adanya MBG agar para pelajar sehat, sekian lama berjalan justru malah harus dilarikan ke rumah sakit. Kebijakan yang menghabiskan banyak anggaran ini pun menuai banyak kritikan. Mulai dari mutu makanan yang tidak terjaga, seperti bahan yang masih mentah dan kudapan yang tinggi gula. Ratusan anak-anak sekolah yang mengeluh sakit perut, mual dan pusing, hanya direspon dengan intruksi penghentian sementara dan membuat surat edaran berisi standar operasional prosedur (SOP) dalam menyajikan makanan di dalam food tray atau wadah.
MBG merupakan janji kampanye presiden dengan tujuan mulia. Selalu dipromosikan sebagai program unggulan pemerintah sekarang. Bahkan Menteri PPN/Kepala Bappenas, menyebutnya sebagai ide strategis untuk mencapai Trisula Pembangunan Nasional 2029, yaitu pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan serta pembangunan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Namun faktanya banyak persoalan yang muncul, karena lemahnya pengawasan terhadap kualitas makanan yang akan dikonsumsi anak-anak. Pakar gizi berpendapat bahwa pemerintah bersikap abai sehingga masalah terus berulang. Kelalaian itu terdapat dalam minimnya SOP, lemahnya pengawasan terhadap satuan pemenuhan pelayanan gizi (SPPG) serta buruknya aspek higienitas dan sanitasi yang mestinya menjadi prioritas.
Munculnya kasus-kasus terkait keamanan pangan mulai dari adanya belatung, berlendir hingga menyebabkan keracunan massal di beberapa daerah memperlihatkan lemahnya kontrol mutu dan minimnya kesiapan teknis di lapangan. Padahal MBG ini ditujukan untuk anak-anak sekolah yang seharusnya mendapat perlindungan dan jaminan kesehatan terbaik. Banyaknya persoalan yang muncul dan bahkan berpotensi membahayakan kesehatan serta keselamatan generasi penerus bangsa, menunjukan bahwa program ini cenderung bersifat populis yang lebih mementingkan pencitraan. Kebijakan ini dijalankan tanpa pertimbangan, perencanaan dan pengawasan yang matang dari berbagai aspek kesehatan, logistik dan kapasitas pelaksana di daerah. Jika kondisi ini dibiarkan bukan tidak mungkin, yang niat awalnya mulia menjadi bumerang bagi kualitas pembangunan SDM sendiri. Inilah solusi pragmatis dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Sebenarnya MBG bukan solusi mendasar bagi persoalan gizi buruk dan stunting. Sebab akar masalahnya terletak pada gagalnya negara menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak bagi para kepala rumah tangga, sehingga mereka bisa memenuhi gizi anak-anaknya secara mandiri. Pemerintah juga gagal menyediakan pelayanan kesehatan gratis, berkualitas dan merata bagi seluruh rakyat, serta abai dalam mengedukasi para ibu dan calon ibu mengenai pentingnya pemenuhan gizi anak. Semua ini karena sistem kapitalisme yang berlaku sekarang. Akibatnya program sosial seperti ini hanya menjadi proyek politis jangka pendek tanpa mampu menyelesaikan akar masalah.
Kapitalisme menghadirkan penguasa populis dengan kebijakan-kebijakannya yang pragmatis. Hasilnya tidak seindah seperti yang dikampanyekan. Berbanding terbalik dengan fakta yang ada pada sistem Islam. Masalah gizi buruk, stunting dan keracunan massal tidak akan ditemui di negara yang menerapkan aturan dari Sang Pencipta manusia di dalamnya. Karena penguasa akan mengurus rakyat dengan penuh amanah, bertanggung jawab dan jauh dari sikap pencitraan. Sifat-sifat seperti itu muncul dengan sendirinya disebabkan ketakwaannya kepada Allah Swt, takut kepadaNya dan merasa selalu diawasi dalam keadaan sendirian atau di tengah banyak orang. Pemimpin yang seperti ini akan disiplin, tegas tapi lemah lembut dan tidak menyusahkan rakyat. Apalagi membuat warganya menjadi korban kebijakannya. Rasulullah saw. bersabda:
"Tidaklah seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memperhatikan mereka dengan nasihat, kecuali ia tidak akan mendapatkan bau surga." (HR Bukhari)
Penguasa adalah pengurus dan pelayan rakyat. Dialah yang mengurus dan melayani semua keperluan masyarakat. Karena itu, sudah seharusnya berbagai kebijakan yang dibuat harus berdasarkan atau sesuai syariat serta dijalankan dengan sebaik-baiknya. serta ada pengawasan yang menyeluruh. Dalam pelaksanaan program-program ini dikerjakan oleh orang profesional. Seperti MBG akan ditangani oleh pakar gizi dan tenaga yang kompeten di bidang kuliner. Semua itu demi melahirkan generasi penerus peradaban yang berkualitas, terhindar dari persoalan stunting, kurang gizi dan masalah kesehatan lainnya. Sehingga masa keemasan Islam akan terwujud kembali.
Untuk itu negara yang menerapkan Islam (Khilafah) akan mengeluarkan kebijakan yang bisa menjamin dan memenuhi enam kebutuhan pokok dan mendasar setiap rakyat. Yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan dengan cara langsung atau pun tidak langsung. Menciptakan lapangan pekerjaan, membangun situasi yang kondusif sehingga ekonomi berputar dengan adil. Ditambah sistem hukum yang tegas secara tidak langsung akan membuat kebutuhan masyarakat mudah diakses. Di samping itu, biaya berobat jika sakit dan iuran sekolah atau belajar diberikan secara gratis dan dijamin oleh baitulmal. Keadaan seperti ini dengan sendirinya akan melahirkan generasi yang sehat, cerdas berkualitas.
Makanan yang bergizi adalah hak seluruh rakyat, bukan hanya buat anak-anak sekolah dan ibu hamil saja. Negara akan memastikan semua warganya bisa mengakses bahan pangan berharga murah, dengan kualitas bagus dan distribusi yang merata. Pada zaman Nabi saw. ada kelompok ahlu shuffah yang dijamin kebutuhannya oleh negara. Tradisi ini terus dipertahankan dan diikuti oleh para sahabat dan para khalifah setelah Rasul wafat. Pada masa Khalifah Umar, beliau mendirikan "rumah tepung" yang disediakan bagi orang-orang yang ada dalam perjalanan. Di era Bani Umayah, para pemimpinnya juga meneruskan kebiasaan baik ini dengan mendirikan dapur umum untuk memastikan tidak ada warganya yang kurang makan. Begitu juga di zaman Khilafah Ustmani, mereka mendirikan Imaret, semacam dapur umum yang menyediakan MBG untuk semua kalangan, sejak abad ke-14 sampai ke-19.
Kebijakan MBG di Negara Khilafah dilakukan karena dorongan rasa tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik demi memenuhi dan melayani pangan rakyat. Inilah tujuan tegaknya pemerintahan dalam Islam yang sebenarnya yaitu mengurus seluruh keperluan warga dengan perhatian dan perlakuan yang sepenuh hati. Tidakkah kita rindu kepemimpinan yang seperti itu?
Wallahu a'lam bish shawab.
Editor: Rens
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
