Nepal di Ambang Revolusi: Puncak Perlawanan Korupsi dan Antara Kepentingan India dan China, Merebut Pengaruh!

ZRP
0


 

Oleh: Rizqi Awal, SE.Sy

Pengamat Politik dan Ekonomi di Indonesia Justice Monitor

Gema protes di Nepal, yang memuncak dengan pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli dan pembakaran gedung parlemen, bukanlah sekadar gejolak politik biasa. Ini adalah manifestasi dari luka sejarah yang dalam dan kegagalan sistematis yang telah menggerogoti negara Himalaya ini selama bertahun-tahun. 

Akar Masalah: Kegagalan Demokrasi yang Basi

Revolusi yang terjadi di Nepal baru-baru ini dipicu oleh kemarahan generasi Z terhadap larangan media sosial yang diberlakukan pemerintah. Namun, pemicu ini hanyalah puncak gunung es dari ketidakpuasan yang lebih luas terhadap elit politik yang korup dan tidak efektif. Sejak monarki dihapuskan pada tahun 2008 dan Nepal menjadi republik, negara ini telah mengalami 13 pergantian pemerintahan. Stabilitas politik tidak pernah terwujud, dan setiap pemerintahan yang berkuasa gagal mengatasi masalah-masalah fundamental seperti pengangguran, korupsi, dan ketidaksetaraan ekonomi

Frustrasi ini sangat terasa di kalangan pemuda. Dengan tingkat pengangguran pemuda yang tinggi, banyak dari mereka merasa tidak punya masa depan di negara sendiri dan terpaksa mencari pekerjaan di luar negeri. Ironisnya, anak-anak dari elit politik yang mereka juluki "nepo kids" hidup dalam kemewahan, yang memicu kemarahan yang meluap di media sosial.

Sejarah Berdarah: Dari Monarki ke Republik yang Rapuh

Untuk memahami situasi saat ini, kita harus kembali ke sejarah modern Nepal. Konflik dan revolusi bukanlah hal baru di sana. Dari tahun 1996 hingga 2006, Nepal dilanda Perang Sipil yang dilancarkan oleh Partai Komunis Nepal (Maois). Pemberontakan ini bertujuan menggulingkan monarki dan mendirikan republik komunis. Perang ini menelan lebih dari 13.000 korban jiwa dan mengakhiri dinasti monarki Hindu yang telah berkuasa selama berabad-abad.

Revolusi Maois ini secara ideologis memiliki resonansi yang kuat dengan narasi perlawanan terhadap sistem feodal dan korup. Meskipun mereka telah menjadi bagian dari sistem politik pasca-monarki, mereka tidak mampu membawa perubahan signifikan yang dijanjikan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap semua partai politik, termasuk mantan pemberontak, terkikis habis.

Dampak Geopolitik di Kawasan Asia: Perebutan Pengaruh di 'Batu Tinjauan'

Nepal memiliki posisi geografis yang sangat strategis, terhimpit di antara dua kekuatan raksasa: India dan Tiongkok. Raja Prithvi Narayan Shah pernah menyebut Nepal sebagai "yam between two boulders" (ubi di antara dua batu besar). Analogi ini masih relevan hingga hari ini. Kedua negara adidaya ini memiliki kepentingan yang besar di Nepal, dan setiap gejolak di sana akan memengaruhi dinamika regional.

  • Tiongkok: Secara tradisional, Nepal menjaga hubungan baik dengan Tiongkok untuk menyeimbangkan pengaruh India. Pemerintahan yang baru saja digulingkan di bawah Oli dikenal pro-Tiongkok. Tiongkok melihat Nepal sebagai bagian penting dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) dan ingin memastikan tidak ada instabilitas yang bisa mengganggu kepentingannya.

  • India: India memiliki ikatan budaya, sejarah, dan ekonomi yang mendalam dengan Nepal. Perbatasan terbuka mereka mempermudah pergerakan orang dan barang. Namun, India juga khawatir dengan pengaruh Tiongkok yang kian meningkat di Nepal. Instabilitas politik yang terjadi saat ini bisa memicu kekhawatiran India akan adanya spillover (efek tularan) ke wilayah perbatasan mereka, terutama dengan kelompok-kelompok yang berseberangan secara ideologis.

Dari perspektif global-strategis, situasi ini adalah medan permainan yang berbahaya. Kedua kekuatan besar ini akan berusaha memengaruhi arah politik Nepal berikutnya. Kekosongan kekuasaan saat ini bisa menjadi kesempatan bagi mereka untuk menempatkan proksi atau mempromosikan faksi yang sejalan dengan kepentingan mereka.

Kesimpulan: Masa Depan yang Tidak Pasti

Revolusi Gen Z di Nepal ini menunjukkan bahwa masalah ideologis dan sistemik tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengubah bentuk pemerintahan. Jika sistem yang ada tidak mampu mewujudkan keadilan, transparansi, dan harapan bagi rakyatnya, maka revolusi akan terus berulang.

Untuk Nepal, masa depan masih tidak menentu. Apakah akan ada pemerintahan sementara yang bisa mengembalikan ketertiban? Atau akankah gejolak ini justru membuka jalan bagi kembalinya monarki, seperti yang diinginkan beberapa pihak yang rindu akan stabilitas? Yang jelas, ketidakstabilan ini akan terus menjadi sorotan di kawasan Asia.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)