Ilustrasi Vectors Character Design Reference
Oleh Nadisah Khairiyah
Beritakan.my.id, Opini_ Kadang kita perlu berhenti sejenak, menghela napas, dan bertanya dalam hati: mengapa negeri yang kaya raya ini terasa sempit bagi rakyatnya, sementara lapang bagi para pejabatnya?
Kabar kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR yang tembus ratusan juta per bulan sungguh seperti garam yang ditabur pada luka. Di saat rakyat menahan lapar, mereka justru menambah lemak kekayaan. Bahkan diberitakan, pajak penghasilan mereka pun ditanggung negara, yang artinya, rakyatlah yang menanggung beban itu.
Bayangkan seorang ibu yang menakar uang belanja: membeli beras atau membayar sekolah anak. Seorang ayah yang menganggur, menahan malu pulang dengan tangan kosong. Lalu bandingkan dengan para pejabat yang gajinya bisa mencapai miliaran setahun. Terasa timpang, bukan?
Jabatan yang Menjadi Bancakan
Tak heran jika suara rakyat makin lantang. “Apa gunanya DPR bila rakyat tetap sengsara?” Apalagi ketika yang tampak di layar kaca bukan kerja keras, melainkan tawa dan joget.
Demokrasi memang mahal. Kursi kekuasaan harus dibeli dengan modal besar. Tak mengherankan bila setelah terpilih, mereka tergoda untuk “balik modal”. Jalurnya bisa legal, lewat gaji dan tunjangan fantastis. Bisa pula ilegal, lewat suap dan proyek. Tak sedikit yang akhirnya terseret kasus korupsi, dengan angka yang bukan lagi miliaran, tapi triliunan rupiah.
Seolah panggung besar sedang dipertontonkan. Para elit duduk di kursi empuk, sementara rakyat menonton dengan tiket pajak yang mahal, tapi pulang dengan perut tetap kosong.
Renungan tentang Kemewahan
Al-Qur’an memberi peringatan lembut namun tegas:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, hingga kalian masuk ke dalam kubur.” (TQS at-Takatsur [102]:1-2)
Ayat ini tidak datang untuk menghakimi, tetapi untuk membangunkan. Bahwa kemewahan bukanlah tanda keberkahan. Apalagi bila ia berdiri di atas derita banyak orang.
Allah juga menyingkap sebab runtuhnya suatu negeri:
“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar taat), tetapi mereka durhaka. Maka sepantasnya berlaku ketentuan Kami, lalu Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (TQS al-Isra’ [17]:16)
Bukankah ayat ini terasa seperti cermin, yang memantulkan wajah negeri kita hari ini?
Kekuasaan sebagai Amanah
Dulu, para khalifah justru gemetar saat diberi jabatan. Umar bin Khaththab ra. berkata:
“Aku memosisikan diriku terhadap harta Allah seperti wali anak yatim. Jika aku cukup, aku tak akan mengambilnya. Jika aku butuh, aku mengambil sekadarnya saja.”
Begitu pula Umar bin Abdul Aziz, yang mengingatkan para pejabatnya:
“Ketahuilah bahwa kekuasaan itu bukan santapan, melainkan amanah. Pada Hari Kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang menunaikannya dengan haq.”
Kalimat mereka sederhana, tapi menyejukkan. Ada ketenangan, ada kesadaran. Bahwa jabatan bukanlah singgasana untuk dimuliakan, melainkan amanah berat yang akan dihisab.
Kembali pada Jalan Allah
Mungkin kita semua perlu sejenak merenung: ke mana arah negeri ini bila hukum Allah terus diabaikan? Rakyat terus dibebani pajak, penguasa terus mengejar kekayaan, sementara keberkahan tak kunjung hadir.
Allah sudah memberi janji yang indah:
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi...” (TQS al-A’raf [7]:96)
Maka sudah saatnya kita berhenti berharap pada kursi-kursi goyah demokrasi, dan kembali bersandar pada hukum Allah yang kokoh. Di situlah letak keadilan, di situlah keberkahan, di situlah rakyat dan pemimpin akan sama-sama sejahtera.
Semoga Allah menuntun kita. Semoga rakyat yang hari ini menahan lapar diganti dengan rezeki halal yang lapang. Semoga para pemimpin disadarkan, bahwa jabatan bukanlah santapan, melainkan amanah.