![]() |
Ilustrasi: google |
Oleh: Shita Istiyanti, Pegiat Literasi
Beritakan.my.id- OPINI- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai wujud kepedulian negara pada generasi muda, kini justru menjadi bumerang. Alih-alih menyehatkan, MBG menorehkan catatan kelam. Pasalnya ribuan anak sekolah mengalami keracunan setelah menyantap menu yang seharusnya aman. Data JPPI mencatat sedikitnya 5.360 siswa menjadi korban keracunan MBG (nu.or.id, 20/09). Sementara Tempo melaporkan jumlah kasus sudah mencapai 6.452 siswa hingga September 2025 (tempo.co, 29/09). Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret kegagalan negara melindungi generasinya.
Ironisnya, pemerintah justru sibuk memainkan narasi keberhasilan. Presiden bahkan sempat mengklaim program MBG “berhasil 99,99%” dengan dalih "hanya" ada beberapa ratus kasus selama program ini berlangsung (goodstats.id, 18/09). Klaim semacam ini jelas mengabaikan fakta di lapangan bahwa ada ribuan anak jatuh sakit, puluhan daerah dilanda insiden serupa, dan angka terus bertambah. Pertanyaan sederhana muncul, apakah ribuan korban keracunan dianggap tidak signifikan demi menjaga citra politik?
Lebih jauh, perbedaan angka antara catatan independen dan data resmi pemerintah memperlihatkan masalah transparansi serius. Kemenkes menyebut ada 5.207 korban per 16 September, sementara BPOM mencatat 5.320 korban per 10 September (berita.murianews.com, 19/09). Lalu, data lapangan bahkan jauh lebih besar. Di Garut saja, jumlah korban mencapai 569 orang (detik.com, 29/09). Di Bandung Barat, ada 352 siswa keracunan dalam satu kejadian (detik.com, 23/09). Lonjakan kasus di berbagai daerah memperlihatkan ini bukan insiden sporadis, melainkan kegagalan sistemik.
Program MBG akhirnya telanjang di hadapan publik. Perencanaan yang gegabah, pengawasan yang longgar, distribusi yang amburadul, hingga standar keamanan pangan yang diabaikan. Jika negara benar-benar serius, seharusnya ada mekanisme audit ketat, pengawasan independen, serta sanksi nyata bagi vendor dan pejabat lalai. Namun yang kita dengar hanya janji evaluasi dan permintaan maaf normatif (nu.or.id, 19/09). Lagi-lagi, nyawa dan kesehatan rakyat hanya ditukar dengan retorika kosong.
Tragedi MBG adalah alarm keras bahwa kebijakan populis tanpa dasar yang kokoh justru berujung malapetaka. Anak-anak bukan kelinci percobaan. Program publik tidak boleh berjalan dengan logika coba-coba, apalagi dengan standar asal-asalan. Jika negara gagal menjamin makanan aman bagi murid SD, lalu apa lagi yang bisa dijamin?
Di titik inilah penting ditegaskan bahwa masalah MBG bukan sekadar salah teknis vendor atau keteledoran distribusi. Ini adalah problem sistemik. Pertama, perencanaan program dilakukan secara serampangan, lebih mengutamakan pencitraan politik ketimbang kesiapan infrastruktur. Kedua, rantai pengawasan lemah. Dari BPOM, Dinas Kesehatan, hingga sekolah tidak memiliki standar tunggal yang jelas. Ketiga, mentalitas populis kian telanjang. Program dijalankan dengan logika asal jalan, sementara nyawa anak-anak dijadikan bahan eksperimen kebijakan.
Program MBG akhirnya terbongkar sebagai proyek besar yang rapuh: distribusi amburadul, standar keamanan pangan diabaikan, audit tidak jelas, dan pertanggungjawaban hanya sebatas janji evaluasi serta permintaan maaf normatif (nu.or.id, 19/09). Tragedi ini menjadi alarm keras bahwa kebijakan populis tanpa dasar yang kokoh justru berujung malapetaka. Jika negara gagal menjamin makanan aman bagi murid SD, lalu apa lagi yang bisa dijamin?
Islam menawarkan jalan keluar yang mendasar. Dalam Islam, pendidikan dan kesehatan adalah hak rakyat yang wajib dipenuhi negara secara langsung, bukan diserahkan kepada vendor melalui tender yang rawan korupsi. Negara dalam sistem Islam hadir sebagai penjamin, bukan penyalur proyek. Mekanisme pengawasan dilakukan oleh lembaga hisbah yang memastikan keamanan, kualitas, dan kehalalan pangan. Pelanggaran tidak diselesaikan dengan retorika, melainkan dengan sanksi tegas sesuai syariah.
Lebih dari itu, Islam menempatkan generasi sebagai aset umat yang harus dijaga. Maka, kebijakan negara selalu dilandasi asas ri’ayah syu’unil ummah yakni mengurusi urusan rakyat, bukan mencari pencitraan politik. Pendidikan, kesehatan, dan gizi generasi dipandang sebagai amanah syar’i, bukan proyek populis.
Tragedi MBG membongkar wajah rapuh sistem sekuler-kapitalistik yang menjadikan rakyat sekadar objek proyek politik. Selama paradigma ini dipertahankan, kasus serupa akan terus berulang dengan wajah berbeda. Islam menegaskan solusi mengakar, yakni negara yang amanah, dengan sistem pengawasan ketat, sanksi tegas, dan kepemimpinan yang memandang rakyat sebagai amanah, bukan beban. Jika negeri ini ingin benar-benar melindungi anak bangsanya, maka harus berani keluar dari jebakan sistem yang busuk, menuju sistem yang menempatkan keselamatan rakyat sebagai harga mati.
Wallahualambishowwab.
Editor: Rens