Tepuk Sakinah, Buntu Pikir Atasi Problem Pernikahan

Goresan Pena Dakwah
0



Ilustrasi pernikahan(pinterest)

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban


Kebenaran.my.id, Opini--Penghulu KUA Menteng, Jakarta Pusat, Abdul Hakim menegaskan, Tepuk Sakinah hanya dipakai dalam bimbingan perkawinan (binwin) klasikal atau kelompok besar, bukan dalam bimbingan tatap muka per pasangan maupun prosesi akad nikah. Menurut Abdul, metode ini dipakai sebatas sebagai ice breaking agar suasana pembekalan calon pengantin lebih segar, terutama ketika peserta mulai jenuh mengikuti materi (kompas.com, 26-9-2025). 


Niatan awal adalah untuk memudahkan pasangan calon pengantin  mengingat  lima pilar keluarga sakinah yang menjadi dasar dalam menghadapi permasalahan rumah tangga yakni zawaj (Berpasangan), mitsaqan ghalizan (Janji kokoh), mu'asyarah bil ma'ruf (Saling cinta, hormat, menjaga, dan berbuat baik), musyawarah 5. taradhin (Saling ridho). 


Bisa dibilang ide tepuk sakinah cukup kreatif. Terlebih di tengah berbagai problem pernikahan yang kian marak, mulai dari pernikahan karena hamil lebih dulu, perceraian karena ekonomi, perselingkuhan, seks bebas hingga menurunnya kepercayaan generasi hari ini terhadap institusi pernikahan hingga rela Kohabitasi (kumpul kebo) dan lainnya. Dan benar-benar buntu pikir negara dalam menyelesaikan masalah pernikahan. 

Baca juga: 

Job Hugging, Tak Nyaman tapi Susah Move on


Namun di sisi lain juga mengundang rasa geli, meski ditegaskan tepuk sakinah hanya untuk breaking ice saat bimbingan klasikal dan tidak disarankan saat hari pernikahan (kecuali setelah akad nikah) , video tariannya menjadi bulan-bulanan masyarakat, muncul video suami beristri empat, pegawai negeri dengan tumpukan pekerjaan, pasangan suami istri yang bertengkar kemudian akur setelah tepuk sakinah, dan lainnya. 


Memang setiap niatan tak selalu mudah dicerna, terutama jika membandingkan dengan masalah yang terjadi di masyarakat. Namun bukan pemerintah kita jika tidak selalu membuat gebrakan. Apapun masalahnya seringkali kebijakan yang diambil bersifat kosmetik, populis bahkan tambal sulam.


Pernikahan Komoditas Bagi Kapitalisme


Pernikahan tentu bukan semata bersatunya dua manusia dalam ikatan janji suci untuk bersama selamanya dalam suka dan duka. Perbaikan bukan hubungan yang berjalan satu dua tahun lalu berpisah jika merasa ada ketidakcocokan. Tapi pernikahan seumur hidup. 


Dalam pernikahan wajib ada visi misi, agar bisa melahirkan generasi terbaik, yang tak hanya melanjutkan silsilah keluarga, tapi juga cita-cita hidup. Masalahnya, dalam kehidupan Kapitalisme pernikahan seolah memilih kucing dalam karung. Banyak faktor yang kemudian dianggap berbeda dengan sebelumnya, apalagi jika pernikahan diawali dengan pacaran bertahun-tahun. 


Seringkali pula kesulitan ekonomi menjadi awal bubrahnya bangunan rumah tangga. Banyak praktik suami jual istri kepada pria lain, istri yang nekad bantu keuangan rumah tangga dengan menjual diri karena suami tak memiliki pekerjaan tetap. Namun Sistem Kapitalisme gagal melihat asal muasal persoalan itu timbul, sebab secara asas sudah batil. Kapitalisme memisahkan agama dari kehidupan, sehingga wajar jika sebuah rumah tangga kering dari cahaya Ilahi. 


Kapitalisme hanya memberi standar pernikahan dalam kacamata materi dan manfaat. Sebuah keluarga idealis adalah keluarga yang memiliki apapun di dunia ini. Kesuksesan diukur dari materi. Sementara kehidupan akhirat jadi opsional masing-masing. 


Pesohor negeri seringkali memperlihatkan gaya hidup berkeluarga yang seolah idealis di depan umum. Bahkan ketika ada anak-anak mereka perpindah agama, mengganti jenis kelamin, membuka aurat dengan alasan agama bukan pemaksaan, kumpul kebo, pecandu narkoba dan lainnya hanya dianggap biasa. Pemuja mereka tetap rapih berkumpul di akun-akun mereka dan siapa mengklik like and subscribe. 


Bukankah sebagai pejabat yang memiliki kekuasaan dan kewenangan mampu melakukan solusi selain tepuk sakinah? Disinilah kita bisa melihat sedikitnya fokus negara dalam mengatasi persoalan pernikahan yang menjadi dasar sebuah keluarga. 


Islam Solusi Hakiki Keluarga Samara


Menikah adalah sunah, Rasûlullâh Saw. bersabda, "Siapa yang menikah maka sungguh ia telah diberi setengahnya ibadah." (HR. Abu Ya'la). Saking mulianya, pernikahan dinisbatkan sebagai setengah dari ibadah. Artinya sama pahalanya dengan ibadah yang lain seperti salah, zakat, puasa, haji dan lainnya. 


Maka, menikah bukan sembarang menikah, butuh kesiapan fisik dan mental. Negara sebagai pengurus urusan rakyatnya wajib hadir, tidak sekadar memudahkan urusan pemenuhan kebutuhan pokok sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Tapi juga mengawal setiap individu baligh dan siap menikah bisa menjalankan salah satu syariat ini dengan baik. 

Baca juga: 

Pujian Global Emansipasi, Perempuan dalam Jebakan Narasi


Menetapkan pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah, sehingga mampu mencetak generasi berkepribadian Islam, dimana akal dan nafsunya selaras dengan akidah Islam. Permisi visi akhirat yaitu menjadi pejuang Islam dengan senantiasa melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. 


Negara wajib menata kehidupan sosial sesuai syariat, dengan melarang khalwat, ikhtilat, membuka aurat di ranah umum, memberi sanksi tegas bagi mereka yang terbukti berzina, melakukan aktifitas menyimpang seperti LGBT dan sejenisnya. 


Dengan demikian, masyarakat akan menjadi tatanan yang kondusif sebagai penjamin terciptanya keluarga yang samara ( sakinah, mawadah warahmah) . Semua hanya bisa terwujud jika Islam diterapkan secara kâfah dan Kapitalisme dicabut. Sebab, tak cukup hanya bimbingan para calon pengantin, melainkan negara benar-benar hadir menjadi pengurus umat dan penerap syariat Allah.  Wallahualam bissawab. [ry].





Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)