Air yang Dijual, Rakyat yang Kehausan

Lulu nugroho
0


Ilustrasi Pinterest
Oleh: Widhy Lutfiah Marha 
Pendidik Generasi 



Beritakan.my.id, Opini_ Air adalah sumber kehidupan. Dari sinilah manusia, hewan, dan tumbuhan bisa bertahan hidup. Namun kini, air perlahan berubah statusnya, dari anugerah Tuhan menjadi komoditas ekonomi. Banyak daerah di Indonesia yang dulunya kaya mata air kini harus menghadapi kenyataan pahit, sumber air mereka dikuasai oleh perusahaan besar. Air yang seharusnya  menjadi hak publik, kini dikomersialkan dan dijadikan sumber keuntungan.

Banyak mata air di berbagai daerah dikuasai oleh perusahaan air minum. Perusahaan-perusahaan tersebut bahkan mengambil air tanah dalam melalui sumur bor untuk memenuhi kebutuhan produksi mereka. Aktivitas ini bukan hanya mengganggu keseimbangan ekosistem, tetapi juga menimbulkan berbagai dampak buruk (dhoror) berupa pencemaran dan kerusakan ekologis akibat pemanfaatan air tanah secara besar-besaran. (mediaindonesia.com, 25/10/2025)

Kerusakan ini tidak terjadi dalam sekejap. Ia berproses perlahan, dimulai dari pengambilan air tanah yang berlebihan hingga hilangnya sumber air alami di sekitar lokasi industri. Masyarakat yang sebelumnya menikmati mata air jernih dari pegunungan, sekarang sering mendapati sumur-sumur mereka mengering. Sementara itu, air dalam kemasan yang diambil dari sumber yang sama dijual dengan harga tinggi di pasaran. Sebuah ironi di negeri yang seharusnya kaya air.

Kapitalisasi Air dan Lemahnya Regulasi

Pengambilan air dari akuifer dalam berisiko besar terhadap penurunan muka air tanah, hilangnya mata air di sekitar wilayah industri, serta potensi amblesan tanah yang merusak permukiman dan lahan pertanian. Akuifer berfungsi sebagai cadangan air yang menjaga kestabilan ekosistem, dan ketika dieksploitasi secara besar-besaran tanpa batas, keseimbangan alami itu pun hancur.

Tidak hanya itu, akses air menjadi tidak merata di wilayah sekitar pabrik. Ketika perusahaan mampu menggali sumur dalam dengan teknologi tinggi, masyarakat sekitar hanya bergantung pada sumber dangkal yang makin hari makin kering. Perbedaan akses ini menimbulkan kesenjangan sosial dan ketidakadilan yang nyata. Sebagian orang menikmati kemudahan, sementara yang lain berjuang demi kebutuhan dasar.

Masalah ini semakin diperparah oleh praktik bisnis ala kapitalis yang meniscayakan manipulasi produk demi keuntungan perusahaan. Dalam sistem yang berorientasi pada profit, air dipandang bukan sebagai hak dasar, tetapi sebagai komoditas yang bisa dimonetisasi. Demi efisiensi dan laba, banyak perusahaan mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan, bahkan menutupi informasi tentang sumber dan volume pengambilan air.

Sementara itu, regulasi di negeri ini masih sangat lemah dalam mengatur batas penggunaan sumber daya alam, termasuk air. Tidak ada kontrol ketat terhadap volume eksploitasi air tanah, dan sanksi terhadap pelanggaran pun sering tidak efektif. Lemahnya penegakan hukum membuat perusahaan semakin leluasa mengambil keuntungan tanpa mempertimbangkan dampak sosial maupun ekologis.

Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) serta Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di bawah Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) belum mampu menghentikan praktik kapitalisasi air ini. Meski memiliki wewenang dan struktur kelembagaan, institusi-institusi tersebut masih kesulitan mengendalikan eksploitasi besar-besaran oleh korporasi. Akibatnya, kapitalisasi air terus berlanjut, meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat yang kehilangan hak dasarnya.

Kerusakan ekosistem air ini juga menimbulkan efek domino yang luas, dari penurunan hasil pertanian, rusaknya habitat alam, meningkatnya risiko amblesan tanah, hingga krisis air bersih bagi masyarakat sekitar. Semua itu menunjukkan satu hal, air telah kehilangan makna sakralnya sebagai sumber kehidupan dan berubah menjadi simbol kerakusan sistem ekonomi yang menempatkan keuntungan di atas segalanya.

Islam Mengembalikan Air sebagai Hak Publik

Islam memiliki pandangan yang sangat tegas mengenai air dan sumber daya alam. Dalam pandangan Islam, air adalah milik publik yang tidak boleh dimiliki individu maupun korporasi. Rasulullah ﷺ bersabda: 

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). 

Hadist ini menjadi landasan utama bahwa air termasuk dalam kategori kepemilikan umum yang harus dijaga bersama.

Dalam sistem Islam, pengelolaan sumber daya air menjadi tanggung jawab negara. Negara tidak boleh menyerahkan penguasaan sumber air kepada swasta atau korporasi yang berorientasi pada keuntungan. Air harus dikelola untuk kemaslahatan masyarakat luas, bukan untuk memperkaya segelintir pihak. Negara berkewajiban memastikan setiap warga memiliki akses terhadap air bersih tanpa diskriminasi ekonomi.

Islam juga mengatur prinsip kejujuran dalam bisnis. Bisnis yang dilakukan dengan mengorbankan kepentingan publik atau merusak alam adalah bentuk kezaliman yang dilarang. Karena itu, dalam sistem Islam, setiap bentuk manipulasi atau monopoli yang menimbulkan dhoror (kerugian) bagi masyarakat tidak dibenarkan. Keuntungan memang diperbolehkan, namun tidak dengan cara yang merusak keseimbangan alam atau menghalangi hak dasar manusia.

Negara dalam pandangan Islam akan memperketat regulasi terkait pengelolaan sumber daya alam. Pengawasan yang dilakukan bukan hanya demi kepentingan ekonomi, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab moral dan syar'i dalam menjaga amanah Allah. Negara wajib memastikan agar tidak ada penyalahgunaan atau eksploitasi berlebihan terhadap air yang dapat memicu kerusakan ekosistem.

Lebih dari itu, Islam menekankan konsep maslahah 'ammah (kemaslahatan umum) sebagai dasar pengelolaan sumber daya. Negara akan membentuk sistem pengawasan yang transparan, mengedukasi masyarakat tentang pentingnya konservasi air, dan mengembangkan teknologi berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan alam. Dalam konteks ini, negara juga memiliki kewajiban untuk menindak tegas pihak-pihak yang merusak atau memperjualbelikan air secara tidak adil.

Solusi Islam bukan hanya tentang regulasi, tetapi juga menyentuh aspek moral dan spiritual. Islam memandang air sebagai amanah Allah yang harus dijaga, bukan dieksploitasi. Setiap tetes air yang digunakan harus membawa manfaat, bukan mudharat. Dengan landasan ini, sistem Islam akan menciptakan tatanan yang adil, di mana rakyat memiliki akses air yang cukup, lingkungan tetap lestari, dan ekonomi berjalan dengan berkah.

Hanya sistem Islam yang mampu mengembalikan fungsi air sebagai sumber kehidupan, bukan sumber keuntungan. Karena di dalam Islam, air bukan milik perusahaan, bukan milik individu, melainkan milik Allah yang dititipkan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia. Wallahu 'alam bishshawab.
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)