Oleh Reni Rosmawati |Pegiat Literasi Islam Kafah
Beritakan.my.id - OPINI- Lantaran kesal kerap mendapatkan perlakuan bullying, seorang santri di Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar membakar gedung asrama putra Dayah Ponpes Babul Maghfirah tempatnya mondok, Jumat (31/10/2025). Menurut keterangan kepolisian setempat, pelaku pembakaran merupakan santri di bawah umur. Pelaku menjalankan aksinya karena mengalami tekanan mental, hingga terdorong untuk balas dendam, berharap barang-barang teman yang mengganggunya terbakar. Jumlah kerugian dari insiden tersebut mencapai Rp2 miliar. (Beritasatu.com, 8/11/2025)
Sementara itu SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, seorang pelajar diduga melakukan aksi bunuh diri dengan meledakkan area musala sekolah menggunakan bom rakitan pada saat salat Jumat. Dugaan sementara pelaku merupakan korban bullying, namun hingga kini benar tidaknya masih didalami polisi. Diketahui sejauh ini pelaku kerap menonton video kekerasan dan mengkases dark web.(detikNews, 17/11/2025)
Efek Bullying Dahsyat: Negara Harus Bergerak Cepat
Fakta di atas membuktikan bahwa efek yang ditimbulkan bullying sangatlah dahsyat. Bullying bisa meninggalkan luka psikologis yang selalu tak terlihat. Pelecehan, penghinaan, dan pengucilan sosial perlahan mengikis rasa percaya diri, hingga akhirnya mendorong ke titik ekstrem melawan dengan tindakan destruktif.
Melihat dampak bahaya yang ditimbulkan bullying, maka jelas perilaku itu tidak dapat ditolerir, negara harus bergerak cepat menyelesaikannya. Jika tidak, generasi akan hancur. Apalagi efek bullying bukan hanya dirasakan korban, namun merambah juga ke pelaku maupun lingkungan yang menyaksikan tindakan tersebut.
Pelaku bullying biasanya mengalami tekanan sosial berat dan pengucilan hingga ditangguhkan bersekolah yang akhirnya mengakibatkan menurunnya prestasi akademik. Ia pun akan lebih rentan berbuat kriminal, bahkan berbuat kasar pada pasangan atau anaknya ketika sudah berumah tangga disebabkan kebiasaan berkelahi sewaktu kecil. Bahkan menurut laman hellosehat, anak yang biasa melakukan bullying ketika dewasa lebih rentan menyalahgunakan obat-obatan terlarang dan alkohol. Adapun bagi lingkungan, akan tercipta pemakluman atas perbuatan tersebut karena dianggap biasa. Penonton akan berpikir itu bisa diterima secara sosial, hingga dapat ditiru oleh anak-anak.
Pertanyaannya, kenapa bullying merebak dan apa penyebabnya? Hakikatnya, bullying bukan hanya sekadar perilaku menyimpang individu, namun masalah sistemik yang lahir dari sistem yang rusak, yakni kapitalisme yang ternyata juga berimbas pada sistem pendidikannya.
Lembaga pendidikan yang baik merupakan salah satu faktor penentu terwujudnya karakter mulia. Maka, idealnya ia harus didesain agar berfokus pada pembentukan karakter melalui penguatan agama (Islam). Karena baik disadari atau tidak, agamalah pondasi bagi seseorang dalam melakukan setiap perbuatan. Sayangnya, sistem kapitalisme yang kini diterapkan tidak mendukung ke arah sana. Sistem pendidikan berbasis kapitalisme yang dibangun di atas asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), menjadikan pendidikan hanya sebatas alat meraih prestasi akademik dan materi, bukan tempat membina karakter mulia.
Begitu pun dengan keluarga. Karena tidak dibangun di atas landasan iman dan takwa, ia bak sarang laba-laba. Keluarga mengalami disharmonisasi, ibu yang semestinya menjadi madrasatul ula, sibuk bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Sebab kapitalisme meniscayakan sulitnya lapangan kerja bagi para ayah. Apalagi jika sudah berpisah, terjadi pengabaian pada anak. Ayah maupun ibu tak lagi memahami bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga agar selamat dunia akhirat. Alhasil, kehangatan di tengah keluarga menurun, anak kehilangan figur yang bisa membimbing sehingga mencari pelarian di luar rumah. Harapan adanya kontrol dari masyarakat serta lingkungan sangat sulit terwujud karena kapitalisme meniscayakan masyarakat yang individualis, tidak peka terhadap kemungkaran.
Kondisi ini diperparah dengan tayangan media sosial yang mempertontonkan berbagai konten-konten nirakhlak, aksi bullying dan saling mengejek menjadi lelucon serta bahan candaan di berbagai platform digital. Sementara negara membiarkan selama tidak merugikan. Apalagi kapitalisme meniscayakan media sosial sebagai salah satu lahan menghasilkan keuntungan materi. Akhirnya, tindakan agresif, ejekan, maupun tindakan kejam tersebut dinormalisasi dan hanya dianggap sebagai lelucon. Media sosial pun kerap menjadi pelampiasan bagi korban bullying untuk mengekspresikan kemarahan dan dendam baik dengan menyakiti diri sendiri maupun orang lain. Sementara sanksi bagi pelaku kejahatan sangatlah lemah, apalagi jika pelakunya dianggap masih di bawah umur, hukum hampir tak pernah menyentuh pelaku. Paling umum diselesaikan dengan berdamai dan kekeluargaan.
Islam Atasi Bullying sampai ke Akar
Dalam Islam, bullying merupakan perbuatan dilarang dan berdosa. Ini sebagaimana firman Allah Swt.: “Wahai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum mengejek kaum yang lain. Boleh jadi yang diejek itu lebih baik dari yang mengejek... (QS. Al-Hujurat: 11)
Islam memiliki berbagai mekanisme komprehensif untuk mencegah bullying, seperti:
Pertama, menerapkan sistem pendidikan/kurikulum berbasis akidah Islam sebagai dasar pendidikan. Ini karena orientasi pendidikan dalam Islam tidak hanya fokus pada capaian materi, namun juga mencetak generasi ber-syakhshiyyah (kepribadian) Islam. Proses pendidikan ini diberikan kepada generasi sejak dini melalui pembinaan secara intensif sehingga terbentuk pola pikir dan pola sikap Islam yang mengakar dalam dirinya. Dengan begitu maka generasi akan menjadi pribadi yang berakhlak mulia.
Kedua, Islam akan mengembalikan peran keluarga sebagai salah satu pilar pendidik utama generasi. Ibu akan difokuskan sebagai guru untuk mendidik anak-anaknya. Kewajiban mencari nafkah hanya ada di pundak ayah, maka lapangan pekerjaan akan dibuka luas agar mereka bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Meskipun demikian, para ayah tetap sebagai kepala sekolah/pengontrol yang mengevaluasi proses pendidikan tersebut.
Ketiga, negara akan berperan sentral mengawasi berbagai tayangan di media sosial. Hanya tayangan yang memupuk keimanan dan membangkitkan semangat jihad fii sabilillah yang ditayangkan. Negara pun akan menjadikan masyarakat sebagai pilar pengontrol umat dengan membudayakan amar makruf nahi mungkar, sehingga kejahatan bisa dicegah karena rakyat tak segan saling menasehati.
Keempat, negara akan menerapkan hukuman yang tegas dan menjerakan bagi pelaku kejahatan. Bagi pelaku bullying tetapi tidak sampai melukai fisik, sanksinya ta'zir yang kadarnya ditetapkan Khalifah. Namun bila sampai melukai fisik apalagi menghilangkan nyawa, maka pelakunya dikenakan hukuman qishas (hukuman yang sama dengan yang dilakukan si pelaku) dan denda/diyat yang tentunya bersifat menjerakan serta menebus dosa di akhirat.
Sementara terhadap pelaku kekerasan verbal, fisik, dan psikis, maka akan dinasehati atau ditegur dengan keras sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw. kepada Abu Dzar Al Ghifari yang melakukan bullying terhadap Bilal bin Rabah ra. dengan mengatakannya ‘anak wanita hitam’. Rasulullah menyebut sikap seperti itu adalah sikap jahiliah dan setiap manusia sama di hadapan Allah yang membedakan hanya ketakwaannya.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab.
