Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Kebenaran.my.id, Opini--“Agama tidak boleh berhenti di mimbar. Agama harus mewujud dalam kebijakan yang menyejahterakan, mendidik, dan memuliakan manusia. Inilah semangat Asta Cita yang kami kawal dengan sepenuh hati,” kata Nasaruddin dalam refleksi satu tahun Kemenag mengawal Asta Cita di Jakarta, Selasa, 21 Oktober 2025 (republika.co.id, 21-10-2025).
Setahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memimpin pemerintahan, Kemenag di bawah kepemimpinan Menteri Agama Prof KH Nasaruddin Umar, bertekad menjadikan momen ini sebagai tonggak menghadirkan wajah kehidupan beragama yang lebih inklusif, produktif, dan menyejahterakan.
Untuk itu, Kemenag memprioritaskan upaya menjaga kerukunan dengan meluncurkan Program Si-Rukun (sistem deteksi dini potensi konflik keagamaan), yang sudah diaktifkan di berbagai daerah. Sebanyak 500 penyuluh agama sudah dilatih menjadi aktor resolusi konflik, dan 600 penceramah diberi pembekalan dakwah moderat serta literasi digital.
Baca juga:
Duta GenRe, Penentu Suksesnya Generasi Emas 2045
Telah lahir pula 1.192 kader lintas agama melalui Akademi Kepemimpinan Mahasiswa Nasional (Akminas), dan merekonstruksi 25 pesantren eks-Jamaah Islamiyah dengan lebih dari 5.000 santri sebagai upaya deradikalisasi berbasis pendidikan. Nasaruddin yakin kerukunan adalah prasyarat pembangunan dan Indonesia hanya bisa maju bila umatnya damai dan saling menghormati.
Dari hasil survei Poltracking, “menjaga kerukunan antarumat beragama” sebagai capaian tertinggi pemerintahan Prabowo–Gibran, dengan tingkat kepuasan publik mencapai 86,7 persen. Dan tak hanya pembangunan rumah ibadah, yang dimaksud agama juga hidup di ruang sosial adalah berpartisipasi aktif dalam program MBG dan Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang sudah diterima manfaatnya lebih dari 1,7 juta siswa madrasah dan santri pesantren.
Ruang sosial lainnya yaitu memberdayakan 4.450 UMKM lewat pinjaman tanpa bunga (qardul hasan) dalam program Masjid Berdaya dan Berdampak (MADADA), serta memberikan pelatihan kepada 1.350 takmir masjid agar mampu mengelola ekonomi berbasis masjid.
Sedangkan langkah inklusif Kemenag dengan mendirikan Sekolah Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Negeri (SETIAKIN) di Bangka Belitung, yang pertama di Indonesia. Kemudian membentuk Lembaga Pengelola Dana Umat (LPDU) untuk mengelola zakat, infak, dan wakaf secara profesional dan transparan. Penanaman lebih dari sejuta pohon, pembangunan 13 KUA green building dan penerbitan buku Tafsir Ayat-Ayat Ekologi sebagai wujud dari gerakan ekoteologi.
Rancu Tafsir Nilai Agama Membumi dalam Kebijakan Publik
Jika diperhatikan secara seksama, apa yang disebut membumikan nilai agama dengan masuk dalam kebijakan publik menunjukkan tidak adanya konsep baku tentang tugas sebuah lembaga yang disebut Kementerian Agama. Namun inilah fakta ketika kita diatur dalam Sistem Kapitalisme yang asasnya sekuler, ada pemisahan agama dari kehidupan. Dimana, lembaga ini samasekali tidak dikenal di masa Rasûlullâh, Khulafaur Rasyidin dan Khalifah-Khalifah selanjutnya.
Kala itu, semua yang berurusan dengan kepentingan rakyat di dalam negeri di atur oleh Departemen Dalam Negeri. Dan agama yang diakui di dalam Daulah Khilafah hanya Islam dan non Islam, tak peduli apakah itu Nasrani, Majusi, Yahudi atau lainnya. Pengaturan ala Kapitalisme ini justru memunculkan tumpang tindihnya pengurusan urusan umat hingga tidak bisa menunjukkan keberhasilan yang signifikan.
Baca juga:
Pesantren, Regenerasi Ulama, Bukan Penopang Ekonomi Nasional
Kemiskinan tetap ada, demikian pula gizi buruk, pendidikan sekuler, ketimpangan sosial ekonomi, kebobrokan moral, zina dan riba merajalela dan lain sebagainya. Lantas, tahu-tahu disebutkan dasar dari pembangunan adalah kerukunan antar umat beragama. Bahkan narasi deradikalisasi, toleransi, moderasi beragama, menghormati agama selain Islam dimunculkan kembali seolah itulah akar persoalan umat dan bangsa ini.
Hal ini semakin membuktikan, narasi usang masih dianggap laku dan penting untuk terus diarusutamakan di tengah masyarakat. Hingga masyarakat yang labil dan rendah kemampuan literasinya bingung bahkan ragu terhadap kebenaran agamanya sendiri. Sungguh mengerikan! Sekulerismelah sebetulnya yang jadi akar masalahnya.
Islam Adalah Sistem Hidup yang Sempurna
Semua yang dianggap prestasi oleh Kemenag, sebenarnya masih berputar pada pengurusan umat ala kapitalisme, dimana sebenarnya negara hadir ala kadarnya. Karena asas dasarnya sekulerisme belum dicabut. Sehingga basis pembiayaan masih pada APBN, kita tahu sumber pendanaannya sangatlah rapuh, yaitu dari pajak dan utang. Sementara kekayaan alam yang berlimpah dijual kepada investor asing. Lebih parah lagi, sektor zakat dijadikan juga sebagai sumber dana bagi pemberdayaan ekonomi, padahal telah jelas disebutkan dalam Al-Qur’an hanya diperuntukkan delapan ashnaf.
Pembacaan terhadap persoalan utama mundurnya bangsa ini yang keliru juga menghasilkan kebijakan yang keliru. Islam yang sejatinya adalah sistem hidup yang sempurna, seolah dibajak, dikriminalisasi sekaligus dimonterisasi menjadi biang kerok persoalan bangsa. Setiap muncul gerakan pemahaman Islam kafah, selalu dibendung dengan radikalisasi, terorisme dan lainnya. Wajar jika kaum muslim terus insecure terhadap agamanya, disitulah awal bencana, ukhuwah Islam terkoyak dan terbagi dalam persatuan kelompok tertentu saja, berdasarkan nasionalisme, patriotisme, berbungkus Bhineka Tunggal Ika. Dan ini bukan makna yang benar dari membumikan Islam bukan sekadar di mimbar.
Seharusnya, Kemenag menjadi garda utama mendorong masyarakat berjalan di jalur yang sahih, yaitu perjuangan mewujudkan kepemimpinan Islam dalam segala lini kehidupan. Bukan malah membuat umat berpaling dari rahmat dan kasih sayang Allah. Sebab itulah yang sebenarnya diperintahkan Allah SWT dalam firmanNya yang artinya, ‘Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. (TQS Al-Baqarah :208). Wallahualam bissawab. [ry].

