Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Beritakan.my.id, Opini--Saat acara final lomba musabaqoh qiroatul kutub atau lomba baca kitab kuning di DPP PKB yang diikuti sekitar 300 santri dari berbagai daerah, Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, mengatakan pesantren pada dasarnya memiliki peran untuk memberikan solusi berbagai permasalahan rakyat. Termasuk terkait masalah ekonomi dan kemiskinan.
Dari sejarah negeri ini, menurut Cak Imin, pesantren telah menjadi bagian solusi bagi masyarakat. Karena selain menangani utang rakyat, ekonomi masyarakat juga menolong kemiskinan (detiknews.com,9-11-2025).
Baca juga:
HSN, Saatnya Aktivasi Perubahan Hakiki
Dengan ilmu dan semangat pengabdian, pesantren di masa lalu menjadi bagian utama dalam proses rekayasa sosial. Bahkan pesantren tertua, memiliki pengalaman dan peran, jauh sebelum kemerdekaan, diawali dengan semangat ilmu, dilanjutkan dengan semangat pengabdian, diikuti dengan kesungguhan menjadi bagian utama dari pengawal rekayasa sosial.
Peran Pesantren Terdriktasi Sekulerisme
Hari Santri Nasional baru saja terlewati, seperti tahun lalu hanya berjalan secara seremonial saja tanpa perubahan yang bermakna. Kini, seolah gagal fokus, Cak Imin mengulang kalimat yang seharusnya tidak disematkan pada peran pesantren dan santri. Yaitu sebagai solusi bagi persoalan bangsa, pelunasan utang sekaligus pembangkit ekonomi rakyat. Tema HSN tahun ini saja sudah terindikasi ada upaya pembelokan potensi santri menjadi duta moderasi beragama, kini pesantrennya di dorong untuk pemberdayaan ekonomi.
Jelas sekali beliau buta sejarah, sebab, sejak Pesantren ada di Bumi Pertiwi ini ditujukan untuk menguatkan akidah Islam para pemuda agar tidak mudah goyah dengan pemikiran di luar Islam, apalagi pengaruh penjajahan sangat kuat. Akses pendidikan terbatas hanya bagi anak penjajah, pejabat pilihan penjajah atau orang yang menjadi kepercayaan penjajah.
Para ulama negeri ini prihatin, pemuda adalah harapan bangsa, ditangan mereka masa depan terbaik bangsa dan negara digantungkan, maka wajib terus menerus menempa pemuda dengan ilmu, akidah Islam dan tsaqofahnya agar tuh perjuangan terus membara, yaitu jihad di Sabilillah.
Dan memang terbukti, pemahaman politik bahwa penjajahan haram dalam Islam, setiap revolusi dan perang, di sana para santri dan kyai berdiri di garda terdepan, mengajak umat bergerak bersama mengusir penjajah. Jika hari ini upaya mereka tidak tercacat dalam sejarah sebagai pahlawan nasional, itu karena penjajah benar-benar ingin memadamkan api semangat jihad hingga ke akar. Secara alami, generasi kini akan tersulut semangatnya jika melihat sepak terjang pendahulu negara dalam melawan penjajah.
Baca juga:
Isu Konvergensi, Eufemisme Makna Pluralisme
Maka, karena bagian dari kultur masyarakat yang ngenger ilmu (mengabdi menuntut ilmu) pesantren menjadi satu lembaga unik yang mandiri. Perekonomian yang dimaksud adalah cara pesantren menghidupi santri dan keberlangsungan pesantren itu sendiri, selain itu karena pesantren adalah lembaga pendidikan di luar negara sehingga tidak mendapatkan kucuran dana sebagaimana sekolah yang terdaftar dalam pemerintahan.
Sedangkan jika kita berbicara pertumbuhan ekonomi, bahkan menjadi solusi bagi persoalan ekonomi bangsa itu adalah ranah negara. Negara yang memiliki wewenang mengatur dan mengelola semua sumber daya yang ada, baik itu sumber daya alam maupun manusia.
Sayangnya, karena kita hidup dibawah aturan sekuler, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, maka kapitalisme lah yang diterapkan, sebuah aturan yang berasal dari kompromi manusia tanpa melibatkan Allah sebagai pemilik langit, bumi dan seisinya.
Negara hanya menjadi pihak yang membuat aturan agar sebuah keputusan bisa dijalankan (regulator) sementara eksekutornya adalah para pemilik modal. Maka, jika kita hari ini memiliki BUMN sebagai perusahaan negara yang mengelola berbagai SDA negeri ini sebenarnya tidak demikian, karena ada kewajiban go publik dalam bentuk penjualan saham, maka kepemilikan perusahaan bukan lagi murni negara, melainkan ada investor besar di dalamnya.
Investor pun berusaha masuk lebih dalam dengan mengatur UU tentang pengelolaan SDA. Dengan alasan sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945 pasal 33, ayat 3 yang berbunyi “ bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata “ dikuasai” nyatanya diselewengkan dengan kebebasan menjualnya kepada perusahaan asing atau perorangan.
Kapitalisme yang sekuler jelas tidak mengenal halal haram, bahkan tak mengenal batas kepemilikan individu, umum atau negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seharusnya milik rakyat, manfaatnya untuk rakyat baik zatnya maupun pembiayaan fasilitas publik seperti kesehatan dan pendidikan, hal itu tidak terjadi. Sebab, kesepakatan melalui UU negara hanya untuk eksplorasi bukan maslahat umat. Maka, yang terjadi yang kaya semakin kaya, rakyat semakin miskin bahkan jatuh hingga kondisi miskin ekstrem.
Sistem Islam Solusi Hakiki Wujudkan Sejahtera
Maka, menjadikan pesantren sebagai solusi ekonomi negara jelas harus dihentikan, sebab pesantren adalah tempat regenerasi ulama, orang-orang fakih fiddin yang siap di garda terdepan mencerdaskan umat sekaligus amar makruf nahi mungkar ketika negara dan penguasa keluar dari trek seharusnya, yaitu syariat.
Sedangkan kewajiban mensejahterakan umat adalah negara, dan itu hanya bisa dicapai dengan penerapan syariah kafah. Dimana Islam saja yang mengatur aspek ekonomi, sosial, politik, keamanan, pendidikan dan semua yang berhubungan dengan maslahat umat.
Baca juga:
Bansos Digital, Nasib Rakyat Tetap Fragmental
Negara akan mengelola SDA secara mandiri, manfaatnya dikembalikan kepada umat. Setiap praktik haram entah judi, penimbunan, penipuan, hingga riba dilarang. Demikian juga tidak boleh bekerja sama dengan negara yang memerangi kaum muslim, ikut terlibat perjanjian dagang dengan mereka yang membuat pengusaha dalam negeri merugi. Bahkan impor akan dihentikan, sebaliknya di dalam negeri akan dibenahi terlebih dahulu agar tercipta ketahanan pangan yang kokoh.
Selayaknya kita bertanya dalam hati tentang pertanyaan Allah dalam firmanNya yang artinya, "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al-Maidah :50). Sudahkah kita meninggalkan hukum jahiliyah, dan beralih kepada hukum Allah? Apakah kita sudah taat atau malah meremehkan? Wallahualam bissawab. [ry].

