Penulis: Tresna Mustikasari |Pegiat Literasi
Beritakan.my.id - OPINI - Setiap 22 Oktober, Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Tahun ini, pemerintah merayakannya dengan berbagai acara: upacara, kirab budaya, lomba baca kitab, hingga festival sinema bertema santri. Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya mengajak santri menjadi penjaga moral dan pelopor kemajuan bangsa, sekaligus mengingatkan semangat Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari. (Kompas.com, 25 Oktober 2025)
Namun di balik semarak peringatan itu, muncul pertanyaan penting: apakah santri hari ini masih membawa ruh jihad dan visi perubahan sebagaimana pendahulunya? Ataukah Hari Santri kini hanya menjadi ritual tahunan tanpa arah perjuangan ideologis?
Santri Dijauhkan dari Ruh Jihad
Jika diamati, peringatan Hari Santri kini lebih menonjolkan seremonial ketimbang substansi. Kirab, lomba, dan parade memang menarik, tapi jauh dari esensi santri yang fakih fiddin—mendalami Islam secara menyeluruh dan siap mengubah realitas umat.
Dalam pernyataan resmi di situs kemenag.go.id (25 Oktober 2025), pemerintah menyebut pemberdayaan ekonomi santri sebagai “kado Hari Santri” dan bagian dari kontribusi pesantren untuk pembangunan nasional. Padahal istilah “pemberdayaan ekonomi” dalam sistem kapitalis hanyalah bentuk halus dari integrasi pesantren ke dalam mesin ekonomi sekuler, bukan membangun kemandirian umat di bawah naungan syariat.
Ironinya, santri yang dulu berjuang mengusir penjajah kini diarahkan menjadi agen moderasi beragama—program global yang sejatinya mengerdilkan Islam agar tidak lagi tampil sebagai kekuatan ideologis yang menentang sistem sekuler. Semangat jihad yang dulu menyala kini direduksi menjadi seruan moralitas umum: sopan, toleran, dan adaptif terhadap sistem kapitalis.
Islam Menempatkan Santri Sebagai Pengemban Dakwah
Islam memuliakan penuntut ilmu. Banyak hadits-hadits dan bahkan ayat al qur’an yang menyebutkan kemuliaan bagi penuntut ilmu. Namun ilmu dalam Islam bukan hanya hafalan hukum atau ritual, tetapi pemahaman ideologis yang menggerakkan perubahan. Ilmu yang menjadikan seseorang berani menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan menyeru kepada sistem hidup yang sesuai syariat.
Inilah hakikat santri sejati — mereka yang memahami Islam secara menyeluruh dan memperjuangkannya dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka bukan sekadar penjaga moral, tetapi penegak kebenaran dan agen perubahan peradaban Islam.
Karena itu, menjadikan santri sekadar penggerak ekonomi atau pendukung pembangunan sekuler jelas menyalahi jati diri mereka. Santri harus diarahkan untuk menjadi penggerak dakwah ideologis, bukan pelengkap sistem kapitalisme yang menindas umat.
Pelajaran dari Sejarah: Resolusi Jihad dan Jati Diri Santri
Sejarah mencatat, seruan KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 lahir dari kesadaran syar’i untuk berjihad melawan penjajah kafir. Beliau berfatwa bahwa wajib ‘ain hukumnya bagi setiap muslim yang berada dalam jarak 94 km dari tempat masuknya musuh, untuk memerangi mereka.
Motivasinya bukan nasionalisme, melainkan kewajiban agama untuk melindungi tanah air Islam dari dominasi asing. Seruan ini menyalakan semangat ribuan santri hingga meletuslah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Sayangnya, makna jihad ini kini direduksi menjadi slogan patriotisme. Padahal penjajahan belum berakhir. Ia hanya berganti bentuk: penjajahan ideologi, politik, dan ekonomi. Negara ini masih terikat utang luar negeri, kekayaan alam dikuasai korporasi global, dan pemikiran sekuler-liberal mendominasi ruang pendidikan.
Peran Negara dalam Menjaga Jati Diri Santri
Islam menempatkan negara (daulah) sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas keberlangsungan lembaga pendidikan Islam seperti pesantren. Negara bukan hanya fasilitator, melainkan pelindung, pembiaya, dan pengarah visi pesantren agar tetap fokus mencetak generasi fakih fiddin yang siap berjuang di garda terdepan melawan penjajahan dan kezaliman.
Dalam sistem Islam (Khilafah), pendidikan adalah pelayanan publik yang dijamin negara, bukan komoditas pasar. Setiap santri berhak mendapatkan akses pendidikan Islam yang mendalam, bebas dari intervensi politik dan tekanan ekonomi.
Negara akan memastikan pesantren menjadi pusat pembinaan ulama dan pejuang dakwah, bukan sekadar lembaga pendidikan formal atau bisnis sosial. Para guru dan santri disokong oleh baitul mal agar mereka bisa fokus menuntut ilmu dan berdakwah tanpa harus dikomersialisasi.
Karena itu, negara Islam tidak akan menukar visi luhur pesantren dengan proyek kapitalistik “pemberdayaan ekonomi” atau “moderasi beragama”. Sebaliknya, negara akan memanfaatkan seluruh potensi pesantren untuk memperkuat identitas umat, menumbuhkan kesadaran politik Islam, dan menyiapkan kader-kader yang mampu menegakkan syariat secara kaffah.
Penutup: Dari Seremonial ke Gerakan Ideologis
Hari Santri semestinya menjadi momen refleksi, bukan euforia. Peringatan ini seharusnya mengembalikan kesadaran bahwa santri lahir dari rahim perjuangan ideologis Islam—bukan sekadar penjaga moral bangsa, tapi penegak kebenaran dan pelanjut risalah Rasulullah SAW.
Kini saatnya santri kembali menapaki jalan jihad intelektual dan dakwah politik. Bukan jihad dalam arti kekerasan, tapi jihad pemikiran dan perjuangan menegakkan syariat Islam sebagai solusi atas krisis umat dan bangsa.
Hari Santri sejati bukan tentang upacara dan festival, melainkan tentang kembalinya santri menjadi agen perubahan peradaban Islam. Santri bukan pelopor kemajuan ala kapitalisme, tapi pelopor kebangkitan Islam rahmatan lil ‘alamin. Wallohu’alam bishowab.
