![]() |
| Sumber Ilustrasi : iStock. |
Oleh: Ari Rahmayanti
Masjidil Aqsha
kembali menjadi target makar keji penjajah zionist Israel. Menurut laporan CNN
Indonesia (25/10/2025), Israel telah melakukan lebih dari 100 penggalian di
bawah kompleks Masjid Al Aqsha sejak pendudukan 1967. Terowongan-terowongan itu
menembus jalur air bersejarah di bawah tanah, lalu diubah menjadi museum dan
sinagoge yang diklaim sebagai “bukti Sejarah Bait Suci”
Penggalian itu
bukan sekadar proyek arkeologi. Getaran dan perubahan struktur tanah telah
menyebabkan sebagian dinding dari lantai sekitar al Aqsha retak. Para pakar
arkeologi Palestina telah berulang kali memperingatkan jika ini terus
dilanjutkan, runtuhnya Masjid al Aqsha bukan lagi ancaman, tapi hanya soal waktu.
Klaim Sejarah Palsu dan Tujuan Dominasi
Zionis
Zionis Israel selama
puluhan tahun berupaya menegaskan klaim palsu bahwa di bawah Masjid al Aqsha
terdapat reruntuhan Bait Suci atau yang dikenal dengan istilah Temple Solomon. Klaim ini dijadikan
pembenaran ideologis bagi proyek Zionisme yakni bahwa bangsa Yahudi “berhak”
atas Yerusalem seluruhnya, bahkan di atas tanah suci umat Islam.
Padahal banyak
ahli sejarah menolak klaim tersebut. Tidak ada bukti arkeologis yang valid bahwa
“Bait Suci” benar-benar berada di bawah lokasi al Aqsha. Namun propaganda
Zionis terus digencarkan agar masyarakat dunia menganggap penggalian itu sah.
Disini lah kebohongan sejarah dijadikan alat penjajahan modern.
Lebih jauh, proyek terowongan ini bukan sekadar menggali tanah, tetapi menggali dasar
kehormatan Islam. Tujuannya jelas yaitu menghapus simbol-simbol Islam dari Al
Quds dan menggantinya dengan simbol-simbol Yahudi dan memuluskan proyek “Yerusalem Raya” yaitu
kota suci tunggal di bawah kekuasaan Israel.
Sementara itu, genosida terhadap rakyat Palestina tak berhenti. Sejak serangan besar Israel ke
Gaza pada Oktober 2023, lebih dari 60.000 warga Palestina gugur, sebagian besar perempuan dan anak-anak (data PBB dan Kemenkes Gaza, 2025).
Ini bukan
sekadar perang, tetapi pembersihan etnis untuk mengosongkan tanah-tanah Islam
dari penduduknya. Maka apa yang dilakukan Israel di bawah al Aqsha hanyalah
lanjutan dari proyek besar menghapus Islam dari bumi Palestina.
Puncak dominasi
Israel bukan sekadar ingin menguasai tanah, tetapi menghapus eksistensi Islam
dari Al Quds. Masjidil Aqsha menjadi simbol terakhir keberadaan Islam di kota
suci itu. Bila al Aqsha runtuh, maka secara simbolik mereka telah
“menumbangkan” Islam dari jantung bumi para Nabi.
Maka proyek ini
bukan sekadar politik atau geologi, tetapi perang akidah dan peradaban.
Inilah hakikat permusuhan zionis terhadap Islam. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala:
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu hingga engkau mengikuti agama
mereka…” (TQS. Al Baqarah: 120)
Keutamaan Masjidil Aqsha
Masjidil Aqsha adalah kiblat pertama umat
Islam dan masjid suci ketiga setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Rasulullah saw bersabda:
“Janganlah
melakukan perjalanan jauh kecuali menuju tiga masjid : Masjidil Haram, Masjidku
ini, dan Masjid Al Aqsha.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al Aqsha menjadi
saksi perjalanan agung Isra’ Mi’raj, peristiwa spiritual yang menghubungkan
bumi dan langit. Maka menjaganya bukan semata isu politik, tetapi bagian dari
iman dan kehormatan Islam.
Ketika Khalifah
Umar bin Khattab ra. menaklukkan Yerusalem pada tahun 637 M, beliau tidak
menghancurkan namun memuliakan kota suci itu. Umar membersihkan area Masjidil Aqsha dari reruntuhan dan membangun kembali tempat shalat di atas pondasi suci
para Nabi. Ia juga menandatangani Piagam Umariyah, jaminan bagi
penduduk Kristen agar tetap aman beribadah. Inilah bukti keadilan kepemimpinan
Islam.
Lima abad
kemudian Shalahuddin Al Ayyubi mengembalikan Al Quds ke pangkuan Islam setelah
88 tahun dijajah oleh tantara Salib. Ia membebaskan kota itu tanpa pembalasan
dendam, bahkan memberi perlindungan kepada warga non-muslim. Air mata
Shalahuddin tumpah ketika ia shalat di mihrab Al Aqsha yang lama terkunci.
Itulah puncak kemuliaan jihad di jalan Allah membebaskan tanah suci tanpa
kezhaliman.
Kewajiban
Umat Islam Menjaga, Membela dan Membebaskan
Masjidil Aqsha
bukalah milik bangsa Palestina semata, melainkan milik seluruh umat Islam di
dunia. Membela dan mempertahankannya merupakan kewajiban kolektif kaum muslimin yang tidak boleh diabaikan oleh siapapun yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Namun realitas
hari ini menunjukkan dunia Islam terpecah belah dalam sekat-sekat nasionalisme
sempit. Sejak 3 Maret 1924, ketika Khilafah Islamiyah yang saat itu berpusat di
bawah kepemimpinan Daulah Utsmaniyah runtuh, negeri-negeri kaum muslimin
terfragmentasi menjadi lebih dari 50 negara. Mereka terpisah oleh batas-batas
buatan dan identitas nasional yang memisahkan satu tubuh umat menjadi
potongan-potongan kecil.
Umat Islam pun
kehilangan kepemimpinan yang menaungi mereka, bagaikan anak ayam kehilangan
induknya, umat ini kini tercerai-berai tanpa pelindung. Para penguasa
negeri-negeri muslim hanya mampu mengirimkan doa dan pernyataan bela sungkawa,
sementara darah kaum muslimin terus tertumpah di Gaza, dan dinding Masjidil Aqsha semakin hari kian retak akibat kezaliman yang tiada henti. Padahal
Rasulullah saw telah memperingatkan kita dalam sabdanya:
“Sesungguhnya
Imam (Khalifah) itu adalah perisai, di belakangnya umat berperang dan dengannya
mereka berlindung.” (HR. Muslim)
Karena itu, umat
Islam sejatinya membutuhkan seorang pemimpin tunggal (Khalifah) yang mampu
menyatukan negeri-negeri muslim, mengerahkan kekuatan politik dan militer,
serta menata strategi pembebasan yang sah sesuai syariat Islam.
Selama
kepemimpinan Islam belum tegak, Masjidil Aqsha akan terus dikepung oleh makar
musuh dan dikhianati oleh sekutu-sekutu yang menormalisasi penjajahan. Hanya
dengan kembali kepada Khilafah, umat Islam dapat benar-benar melindungi,
membebaskan, dan memuliakan kembali al Aqsha sebagaimana yang pernah dilakukan
oleh para khalifah dan mujahid terdahulu.
Kebangkitan
Umat dan Kepemimpinan Hakiki
Solusi bagi
pembebasan al Aqsha tidak cukup hanya dengan diplomasi, konferensi atau bantuan
kemanusiaan. Semua itu penting, tetapi tidaklah memadai. Sejarah memperlihatkan
bahwa hanya kepemimpinan Islam yang Bersatu, adil dan berwibawa yang mampu
menjaga serta membebaskan Al Quds.
Pandangan Islam
terhadap penjajahan di atas negeri Palestina telah jelas. Para ulama telah
menyepakati kewajiban melakukan jihad fii sabilillah untuk mengusir para penjajah.
Imam Ibnu Qudamah al Maqdisi (620H) menyatakan bahwa jika kaum kafir menduduki
suatu negeri kaum muslim maka penduduk negeri itu wajib memerangi kaum kafir
tersebut. Jika mereka tidak mampu maka kewajiban itu meluas kepada kaum Muslim
yang ada di negeri sekitarnya (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 9/228).
Dasarnya adalah
ayat-ayat Al Quran yang memerintahkan untuk berjihad. Diantaranya firman Allah
ta’ala:
“Perangilah
di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian”
(TQS. Al Baqarah : 190).
Hanya Khilafah
Islamiyah yang akan menjadi perisai umat Islam sedunia. Hanya dengan khilafah
kehormatan, harta, dan jiwa umat Islam sedunia terpelihara. Khilafah lah yang
akan menyatukan seluruh negeri muslim, memimpin mereka lalu mengibarkan bendera jihad
fii sabilillah untuk mengusir para penjajah dari negeri-negeri kaum muslim
khususnya Palestina.
Allahu a’lam.
------
Editor : Vindy Maramis
