Oleh Hera
Beritakan.my.id, Opini_ Pada jum’at siang hari telah terjadi ledakan di area masjid, dan kantin SMAN 27 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Aksi ini diduga karena adanya perundungan yang dialami oleh salah satu siswa. Siswa tersebut diduga balas dendam atas perundungan yang dialaminya dengan cara melakukan peledakan di area masjid,dan kantin sekolah.
Pemerintah Kota Bandung kembali menegaskan komitmennya untuk menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi anak melalui Deklarasi Zero Bullying. Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menyampaikan bahwa pencapaian Zero Bullying bukanlah hal yang mudah. Meski demikian, langkah ini menjadi bagian penting dalam mewujudkan Bandung sebagai Kota Layak Anak tingkat utama, sebagaimana diberitakan oleh Portal Jabar. (jabarprov.go.id)
Namun, muncul pertanyaan besar: apakah langkah deklaratif ini benar-benar mampu menekan angka perundungan (bullying)? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa meskipun sudah ada berbagai bentuk sanksi, teguran, bahkan kampanye anti-bullying, kasusnya justru terus meningkat. Beberapa korban bahkan sampai memilih jalan tragis, yakni bunuh diri, karena tidak tahan menghadapi tekanan sosial dan psikologis akibat perundungan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan bullying tidak cukup diselesaikan dengan seruan moral, slogan, atau deklarasi semata. Akar masalahnya jauh lebih dalam menyentuh dimensi krisis identitas, iman, dan akhlak di kalangan generasi muda. Banyak anak dan remaja saat ini mengalami kebingungan dalam menentukan arah hidupnya. Mereka kehilangan jati diri, menurunkan rasa percaya diri, dan menjauh dari nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi pegangan.
Salah satu penyebab utama dari krisis ini adalah perubahan kiblat gaya hidup dan pemikiran. Banyak remaja yang tanpa sadar menjadikan budaya dan nilai-nilai Barat sebagai panutan. Media sosial, film, musik, dan konten global lainnya telah membentuk cara berpikir dan berperilaku mereka, sering kali tanpa filter nilai moral atau keagamaan. Akibatnya, mereka lebih mudah terpengaruh oleh gaya hidup permisif, materialistik, dan individualistik, yang jauh dari semangat kebersamaan dan empati.
Padahal, dalam ajaran Islam, setiap individu diajarkan untuk memiliki akidah yang kuat, yang menjadi fondasi utama dalam membentuk akhlak dan perilaku. Akidah yang kokoh menjadikan seseorang mampu memahami tujuan hidupnya, menghormati sesama, dan menahan diri dari perbuatan zalim, termasuk tindakan perundungan. Oleh karena itu, jika kita ingin menuntaskan masalah bullying dari akarnya, pendidikan berbasis akidah Islam perlu dijadikan bagian utama dari sistem pendidikan.
Penanaman akidah bukan sekadar pembelajaran agama secara formal, tetapi lebih kepada pembentukan karakter dan kesadaran spiritual sejak dini. Ketika anak-anak tumbuh dengan kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari umat yang memiliki tanggung jawab moral, sosial, dan spiritual, mereka akan lebih mudah membedakan mana perilaku yang baik dan mana yang tidak pantas dilakukan.
Generasi terdahulu telah membuktikan hal ini. Ketika Islam dijadikan pedoman hidup, lahirlah generasi muda yang berilmu tinggi, berakhlak mulia, dan berkontribusi besar dalam peradaban. Mereka bukan hanya sukses dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga berhasil menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat. Inilah generasi yang layak disebut khairu ummah atau umat terbaik.
Maka, jika Bandung benar-benar ingin mewujudkan lingkungan tanpa bullying, deklarasi perlu diikuti oleh langkah nyata yang menyentuh akar moral dan spiritual. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan keluarga harus bersinergi dalam membangun generasi berakidah kuat, berakhlak mulia, dan memiliki empati tinggi. Dengan cara inilah, cita-cita Zero Bullying tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi realitas dalam kehidupan masyarakat.

