Oleh. Gazalah Al Haruriah
Krisis Sudan kembali memasuki fase paling kelam dalam beberapa tahun terakhir. Gelombang kekerasan meningkat tajam setelah El-Fasher jatuh ke tangan Rapid Support Forces (RSF), menjadikan kota itu saksi dari pembunuhan massal, pemerkosaan, dan eksodus penduduk yang tak berkesudahan.
Dalam hitungan hari, lebih dari 36.000 warga melarikan diri sejak Ahad lalu—gelombang manusia yang berjalan kelelahan, dehidrasi, dan sering kali tiba di wilayah aman dalam kondisi malnutrisi. Rumah sakit di Tawila kini dipenuhi korban tembakan, anak-anak tanpa pendamping, serta bayi dan balita yang menjadi yatim akibat keluarganya dibunuh. Pemandangan ini menjadi gambaran pilu dari tragedi kemanusiaan yang kembali menimpa negeri yang sebenarnya kaya, namun terjerat dalam konflik tanpa ujung.
Ironi ini semakin terasa ketika kita melihat siapa Sudan sebenarnya. Negara terbesar ketiga di Afrika ini adalah rumah bagi mayoritas Muslim. Sudan memiliki warisan peradaban kuno dengan piramida lebih banyak daripada Mesir. Sungai Nil yang melintasinya lebih panjang dari wilayah sungai di Mesir, serta kekayaan alam yang seharusnya menjadikannya salah satu negara paling makmur di kawasan.
Sudan menyimpan lebih dari 3 miliar barel cadangan minyak, 1.550 ton emas, merupakan penghasil gum arabic terbesar di dunia. Sebuah komoditas penting untuk industri. Begitu juga dengan wilayah Nuba yang kaya uranium. Letak Sudan pun sangat strategis, yaitu terhubung dengan tujuh negara Afrika, menjadi jalur penghubung Afrika Utara–Sub-Sahara, dan memiliki pesisir panjang di Laut Merah yang dekat dengan Bab al-Mandeb—salah satu jalur perdagangan paling vital di dunia. Namun potensi luar biasa ini justru menjadi bahan rebutan, bukan pijakan kemajuan.
Karena itu, membaca krisis Sudan hanya sebagai konflik etnis atau perseteruan internal adalah penyederhanaan yang keliru. Banyak analisis menunjukkan bahwa konflik ini merupakan bagian dari tarikan kepentingan kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Inggris. Negara-negara regional sekutu mereka, seperti Uni Emirat Arab dan aktor zionis, sering disebut memainkan peran dalam memperkuat faksi tertentu demi mempertahankan atau memperluas pengaruh.
Hubungan geopolitik yang kompleks membuat Sudan tidak pernah benar-benar berdiri sebagai pemilik sumber dayanya sendiri. Di saat yang sama, aturan dan lembaga internasional yang seharusnya menjadi penengah kerap dinilai beroperasi dalam kerangka kepentingan global negara-negara adidaya, sehingga tak mampu menghentikan penderitaan rakyat Sudan. Pada akhirnya, Sudan menjadi panggung perebutan kekuasaan global dan rakyatnya menjadi korban utama.
Situasi ini memunculkan pertanyaan mendalam bagi dunia Islam: sampai kapan negeri-negeri Muslim akan terus berada dalam posisi rentan, terpecah, dan mudah dieksploitasi? Banyak pengamat menilai bahwa umat perlu menaikkan level kesadaran politiknya bahwa berbagai konflik yang melanda negeri-negeri Muslim tidak dapat dipahami hanya dari permukaan, tetapi harus dilihat dalam bingkai ideologis dan dinamika besar pertarungan peradaban. Selama struktur global masih ditentukan oleh kepentingan segelintir negara adidaya, selama itu pula negeri-negeri Muslim akan terus berputar dalam lingkaran krisis.
Dari perspektif pemikiran Islam, muncul pandangan bahwa tata kelola alternatif yang bersumber dari nilai-nilai Islam mampu memberi model politik dan ekonomi yang lebih adil, lebih mandiri, dan lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat. Refleksi semacam ini membawa kita pada urgensi lebih luas: kebutuhan mendesak akan persatuan politik di antara negeri-negeri Muslim. Realitas selama ini menunjukkan bahwa fragmentasi politik membuka ruang bagi hegemoni asing dan membuat dunia Islam mudah dipecah dan dikendalikan.
Dengan membangun solidaritas politik yang kuat dan kesadaran kolektif yang lebih matang, umat dapat keluar dari siklus dominasi yang menjerat Sudan dan banyak negeri Muslim lainnya. Dalam perspektif ini, persatuan bukan sekadar idealisme, melainkan prasyarat untuk menghadapi dinamika global yang semakin keras dan tanpa kompromi.
Krisis Sudan, pada akhirnya, bukan hanya soal satu negara yang dilanda perang saudara. Ia adalah cermin dari persoalan besar yang menimpa dunia Islam secara keseluruhan. Tragedi Sudan mengingatkan kita bahwa konflik yang terjadi tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan perebutan sumber daya, pertarungan kekuatan global, dan lemahnya struktur politik yang melindungi umat. Dengan membaca krisis ini secara menyeluruh dan menggabungkan fakta lapangan, akar geopolitik, serta analisis ideologis, kita dapat memahami bahwa solusi yang dibutuhkan juga harus berskala besar, setara dengan kompleksitas masalah yang dihadapi.
Tata kelola yang berlandaskan nilai-nilai Islam yaitu sistem khilafah, mampu menghadirkan stabilitas, keadilan, serta pengelolaan sumber daya yang lebih berpihak kepada umat sehingga tercipta kerahmatan bagi seluruh manusia. Ini menjadi dorongan spiritual dan intelektual bagi umat untuk kembali meninjau warisan politik Islam sebagai sebuah tawaran solusi.
Dalam perspektif yang sama, persatuan negeri-negeri Muslim di bawah satu kepemimpinan yang solid dalam naungan Khilafah sebuah keniscayaan untuk melawan hegemoni negara-negara kafir Barat yang terus membuat umat Islam terjajah, terpecah dan menderita. Wallahu a'lam bishawab. []
