Menelisik Percaturan Kepentingan Barat Di Sudan

Muslimah Pembelajar
0


Oleh. Khaula Mumtaza


Melacak tragedi di tanah Sudan, sebuah negeri dengan sejarah peradaban Nubia yang agung, kini diselimuti api dan darah. Di balik mayoritas penduduknya yang Muslim, kekejaman yang tak terperi sedang berlangsung. Konflik antara militer Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) sejak 15 April 2023 telah melahirkan genosida nyata.


Ribuan nyawa melayang, dan menurut laporan kemanusiaan terbaru, lebih dari 12 juta orang terpaksa mengungsi, menjadikan Sudan salah satu krisis pengungsian terbesar di dunia saat ini. Bukan lagi sekadar perang antara dua pihak bersenjata, tetapi pembantaian brutal. 


Di El-Fasher, kota kunci di Darfur, penyerbuan terhadap masjid-masjid dan Rumah Sakit Saudi menjadi bukti bahwa perang telah kehilangan batas kemanusiaan. Pasien, anak-anak, lansia, hingga tenaga medis ditembaki tanpa perikemanusiaan. Laporan kekerasan seksual yang menyasar perempuan dan anak gadis semakin menambah luka terdalam dalam sejarah kelam Sudan modern. Tragedi ini hampir tidak menjadi sorotan luas internasional, sehingga banyak pakar menyebutnya sebagai “The Forgotten War.”


Ironisnya, semua penderitaan ini terjadi di tanah yang sangat kaya. Sudan adalah negara terbesar ketiga di Afrika dan dikenal sebagai produsen emas terbesar di antara negara-negara Arab. Selain itu, Sungai Nil yang mengalir melintasi wilayahnya menjadikan Sudan sangat potensial untuk pertanian dan energi. Kekayaan mineral, terutama emas, minyak, dan batu permata, menjadikan Sudan primadona ekonomi yang diincar banyak kekuatan besar.


Karena itu, konflik Sudan tidak bisa dilihat sekadar sebagai perseteruan antara dua jenderal yang berebut kekuasaan. Ia adalah perebutan emas dan pengaruh geopolitik. Sudan adalah objek, bukan subjek. Negeri ini menjadi ajang pertarungan kepentingan global antara Amerika Serikat dan Inggris, bersama para sekutu mereka, termasuk rezim Zionis dan Uni Emirat Arab (UEA).


Terungkapnya hubungan antara pemimpin RSF, Jenderal Muhammad Hamdan Dagalo (Hemedti), dengan agen intelijen Israel (Mossad) yang dimediasi oleh UEA, bukan sekadar rumor. Israel memahami bahwa Sudan adalah pintu strategis ke Afrika dan Laut Merah, jalur perdagangan yang sangat vital dalam rantai pasokan energi global. Peran Tel Aviv, Washington, dan London dalam membentuk dinamika konflik tidak lepas dari ambisi untuk mengontrol jalur laut, tambang emas, dan struktur politik kawasan.


Penemuan peralatan militer buatan Inggris di medan pertempuran, serta laporan penggunaan teknologi pengawasan Israel dalam operasi RSF, memperjelas siapa yang berada di balik konflik ini. Sementara itu, lembaga internasional seperti PBB tampak tidak memiliki kekuatan ataupun keberpihakan yang nyata untuk menghentikan perang. Tatanan global yang ada memang dibangun untuk melanggengkan hegemoni kekuatan adidaya, bukan untuk membela maslahat negeri-negeri Muslim.


Di sinilah akar masalahnya. Selama negeri-negeri Muslim berjalan dalam sistem ciptaan manusia, khususnya kapitalisme-sekuler yang menjadikan sumber daya sebagai komoditas, maka eksploitasi tidak akan pernah berhenti. Sudan hanyalah satu potret. Palestina, Suriah, Libya, Yaman, Afghanistan, semuanya menanggung luka yang sama.


Khilafah: Solusi Ideologis Mengakhiri Hegemoni


Penderitaan Sudan harus menjadi alarm besar bagi umat Islam. Kita tidak boleh lagi melihat krisis ini sebagai “isu luar negeri” atau sekadar konflik politik. Ini adalah perang ideologi antara ideologi Islam dan kapitalisme sekuler yang mendominasi tatanan dunia saat ini.


Selama dunia Islam terpecah menjadi lebih dari 50 negara, dengan kepemimpinan yang mengikuti narasi dan aturan Barat, umat Islam tidak akan mampu membebaskan dirinya dari penjajahan gaya baru. SDA akan terus dikeruk, konflik akan dibuat terus menyala, dan kemiskinan akan dipertahankan demi kepentingan geopolitik.


Maka solusi itu hanya satu: penegakan kembali Khilafah Islam. Dengan Khilafah, Umat Islam kembali berada dalam satu kepemimpinan yang kuat yang mampu mengusir intervensi asing, kekayaan alam seperti emas, gas, dan minyak akan menjadi milik umum, dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan korporasi global dan sistem politik, ekonomi, dan militer berdiri di atas mabda’ Islam, bukan kontrak kepentingan.


Sudan adalah cermin. Ia menunjukkan bahwa selama umat tidak bersatu, penderitaan akan terus diwariskan. Jalan segala persoalan ini hanya satu, yaitu kembali kepada sistem yang Allah ridai, Khilafah ‘ala minhāj an-nubuwwah. Wallahu a'lam bishawab. []

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)