Mengembalikan Martabat Ilmu dan Guru

Admin BeritakanMyId
0

 

Sumber Ilustrasi : AI.

Oleh : Ummu Thoriq


Dalam rangka memperingati Hari Guru, kita kembali diingatkan bahwa pendidikan hari ini berada dalam lingkaran masalah yang tak kunjung selesai. Guru dihimpit tuntutan administratif, murid dibebani standar nilai, orang tua dibentuk menjadi konsumen, dan pendidikan tak lebih dari sekedar penggerak roda besar industri kapitalisme. Di tengah suasana ini, guru seringkali hanya menjadi “penyedia layanan” yang harus memenuhi kepuasan pasar, bukan pemegang amanah mulia sebagai penjaga ilmu dan pembentuk akhlak.


Fenomena ini menjadi kontras jika dibandingkan dengan kejayaan pendidikan dalam peradaban Islam, ketika ilmu dimuliakan, guru dihormati, dan pendidikan bukan dijadikan komoditas, melainkan kewajiban negara dan kebutuhan ruhani umat manusia.


Ilmu Sumber Kemuliaan dan Cahaya Peradaban.

Islam menempatkan ilmu pada posisi yang tidak bisa ditandingi oleh pola pemikiran manapun. Ayat pertama yang turun kepada Rasulullah secara gamblang memerintahkan manusia untuk membaca dan menuntut ilmu.

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan…” (TQS. Al ‘Alaq : 1)

Allah pun menjanjikan kemuliaan bagi orang-orang yang berilmu :

“Allah akan meinggikan derajat orang-orang beriman dan orang yang berilmu beberapa derajat.” (TQS. Al Mujadilah: 11)

 Selain itu, Nabi saw. menegaskan tingginya posisi pengemban ilmu, beliau bersabda :

“Sesungguhnya para ulama adalah perwaris para nabi” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi)


Dalam Islam, guru termasuk diantara pewaris kemuliaan itu, mereka bukan sekedar fasilitator belajar, tetapi pembimbing moral, penjaga akidah, dan penyampai cahaya yang meneruskan warisan kenabian.

Peradaban Islam Memuliakan Guru

Sejarah membuktikan bahwa pemimpin dalam Islam sangat memuliakan guru serta meninggikan ilmu. Pada masa kejayaan Khilafah Bani Umayyah, Bani Abbasiyah hingga era Bani Utsmaniyyah, guru menempati posisi yang sangat krusial.


Para khalifah melakukan banyak hal untuk memastikan pendidikan bermutu, seperti; mendirikan madrasah, perpustakaan dan pusat ilmu yang lengkap dan megah, memberikan gaji besar kepada guru, jauh lebih banyak daripada gaji pejabat, menghargai para penulis dan ulama dengan hadiah yang sangat layak - bahkan pernah ada masa ketika penulis buku dibayar dengan emas seberat buku yang ditulis, menyiapkan fasilitas rumah dan beasiswa, hingga jaminan hidup agar para guru dapat fokus pada ilmu.

Hal ini terjadi karena pendidikan dipandang sebagai kebutuhan pokok masyarakat untuk menjaga peradaban.


Pendidikan dalam Kapitalisme

Dalam cengkeraman sistem kapitalisme, arah pendidikan berubah secara mendasar. Ilmu tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan ruhani yang menuntun manusia menuju ketakwaan, tetapi direduksi menjadi komoditas yang harus menghasilkan keuntungan. Sekolah akhirnya berfungsi layaknya badan usaha yang “menjual jasa pendidikan”, sementara murid dan orang tua diposisikan sebagai konsumen. Guru pun perlahan kehilangan kehormatannya karena dituntut untuk melayani pasar, bukan mendidik dengan otoritas moral. Kurikulum disusun mengikuti kebutuhan industri, bukan kebutuhan peradaban, sehingga pendidikan kehilangan ruh pembentuk manusia berakhlak.


Ketika pendidikan menjadi komoditas, biayanya pun terus naik mengikuti logika bisnis. Akses pendidikan berkualitas hanya tersedia bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial, sementara masyarakat menengah ke bawah dipaksa menerima kualitas seadanya. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar justru berubah menjadi barang mewah. Negara bukannya hadir sebagai pelindung rakyat, tetapi justru bersembunyi di balik jargon liberalisasi, menyerahkan urusan pendidikan kepada mekanisme pasar dan swasta.


Konsekuensi dari komersialisasi ini tidak hanya terasa pada naiknya biaya, tetapi juga pada semakin lebarnya jurang akses pendidikan. Di banyak wilayah, infrastruktur pendidikan buruk, tenaga professional kurang, dan biaya sekolah kian melambung membuat potret pendidikan semakin suram. Dalam logika pasar, konsumen adalah raja; akibatnya, ketika murid diperlakukan sebagai pelanggan, wibawa guru pun runtuh. Guru tak lagi memiliki ruang untuk menegur atau mendidik dengan ketegasan, karena setiap langkahnya berisiko dipersoalkan oleh “konsumen” yang merasa berhak menuntut pelayanan.  


Kebebasan Berpendapat ala Sekuler: Adab Tak Lagi Dianggap Perlu

Kapitalisme menjunjung tinggi “kebebasan berpendapat” tetapi tanpa pondasi akidah dan adab. Kebebasan versi sekuler menempatkan suara murid dan guru pada posisi yang sama, seakan keduanya setara dalam otoritas.


Inilah yang menyebabkan munculnya murid  yang berani membantah kepada guru dengan nada tinggi, perdebatan antara murid dan guru yang melampaui batas adab, guru yang tidak bisa tegas karena khawatir akan dilaporkan, sampai ada murid yang merasa bebas mengekspresikan diri tanpa kewajiban menjaga etika.


Padahal dalam Islam, sangat jelas bahwa adab adalah fondasi antara murid dan guru. Imam Syafi’i pernah berkata: “aku membuka lembaran di hadapan guruku secara perlahan-lahan, karena aku takut suara lembaran itu mengganggunya”.


Ketika Negara Melepaskan Tanggung jawab

Kapitalisme memandang negara sebagai pengatur minimal, bukan pengampu pendidikan. Akibatnya pendidikan diserahkan kepada swasta, kualitas ditentukan oleh daya beli masyarakat, para guru seringkali tidak dihargai secara layak dan ilmu diarahkan pada kebutuhan industri, bukan kebutuhan membangun peradaban berakhlak.


Berbeda dengan Islam, di mana negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas, gratis, dan mencetak
manusia bertakwa, bukan sekadar tenaga kerja industri. Pendidikan dalam Islam bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter dan ideologi.


Dalam Khilafah, pendidikan dirancang untuk mencetak generasi yang memiliki kecakapan intelektual dan spiritual. Kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam memastikan bahwa siswa tidak hanya menjadi individu yang cerdas, tetapi juga berkomitmen pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.


Islam, melalui Khilafah menawarkan solusi yang mampu mewujudkan pendidikan gratis dan berkualitas untuk semua. Dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, dapat dibangun sistem pendidikan yang  tidak hanya adil, tetapi juga memberdayakan.



Seruan Islam: Mengembalikan Martabat Ilmu dan Guru

Jika kita ingin mengembalikan kejayaan umat, kita harus kembali menempatkan pendidikan sebagaimana Islam memandangnya yaitu sebagai tugas negara untuk membangun akhlak, menguatkan akidah dan mempersiapkan generasi pemimpin peradaban.


Hari guru seharusnya menjadi momentum untuk merenungi hal ini untuk bertanya dengan jujur apakah kita ingin tetap berada dalam sistem yang merendahkan guru, atau kembali mengangkat martabat mereka seperti masa kekhilafahan Islam.


Penutup

Kemuliaan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana ia memperlakukan para pendidiknya. Islam telah membuktikan bahwa peradaban besar lahir dari penghormatan kepada ilmu dan penyampainya yaitu guru.


Selamat Hari Guru

Semoga kita kembali menempatkan pendidikan pada posisi mulianya, sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.

Allahua’lam bish showab.


-----

Editor : Vindy Maramis

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)