Oleh : Kiasatina Izzati Pertiwi
(Pengajar di Karawang)
Beritakan.my.id, Opini_ Bupati Karawang Aep Syaepuloh berharap keberadaan sejumlah organisasi wanita dapat memberikan manfaat dan ikut serta dalam pembangunan daerah, termasuk dalam pemberdayaan masyarakat.
Ia menyampaikan harapannya agar organisasi wanita yang ada di Karawang dapat memberikan dampak positif yang signifikan, terutama dalam mendampingi masyarakat. (Megapolitan.antaranews.com 13/10/2025)
Pernyataan dari Bupati Karawang tentang organisasi perempuan sebagai pemberdayaan masyarakat dan diikut sertakan dalam pembangunan daerah mungkin adalah hal yang positif. Namun arah pembangunan organisasi ini harus kita cermati terlebih dahulu. Apakah memang arah pembangunan ini bisa memberdayakan wanita dalam masyarakat atau malah menguntungkan segelintir orang saja.
Banyak organisasi yang mengikuti gagasan ini, contohnya seperti GOW, Bunda Literasi, dan Bunda Paud. Sebenarnya gerakan ini adalah langkah awal untuk memperlihatkan perempuan sebagai pembangun peradaban termasuk dalam bidang kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan keluarga. Secara sosial juga langkah ini bisa memperkuat partisipasi wanita diruang publik.
Namun, bila ditinjau lebih dalam, bentuk pemberdayaan semacam ini sering kali masih terjebak dalam kerangka pembangunan yang berorientasi pada sistem kapitalis-sekuler. Paradigma pembangunan di Indonesia umumnya berfokus pada peningkatan indikator ekonomi seperti pertumbuhan, produktivitas, dan daya saing tanpa memperhatikan aspek moral, spiritual, dan ideologis yang mendasari arah pembangunan tersebut. Dalam konteks ini, peran perempuan diposisikan terutama sebagai instrumen pembangunan ekonomi : diharapkan aktif, kreatif, dan produktif agar memberi dampak terhadap peningkatan kesejahteraan materi masyarakat. Manfaat materi ini tidak lain menyangkup ekonomi, infrastruktur, dan daya saing global.
Kondisi ini menimbulkan persoalan ideologis yang cukup mendasar. Ketika ukuran keberhasilan perempuan ditentukan oleh seberapa besar ia berkontribusi dalam bidang ekonomi, maka makna “pemberdayaan” menjadi bergeser. Pemberdayaan tidak lagi dimaknai sebagai upaya untuk memuliakan perempuan sesuai fitrahnya, tetapi sebagai sarana untuk memperkuat roda kapitalisme di mana tenaga, waktu, dan potensi perempuan dijadikan bagian dari sistem ekonomi pasar. Akibatnya, perempuan yang aktif secara sosial dan ekonomi justru kerap mengalami beban ganda: tetap harus menjalankan peran domestik, tetapi juga dituntut untuk produktif di ruang publik.
Tak bisa dipungkuri banyak nya kecacatan kebijakan yang muncul dari sistem Kapitalisme Sekulerisme. Yakni kebijakan yang semulanya adalah hal yang positif ketika memakai sistem ini akan menjadi hal yang negatif dan malah muncul banyak permasalahan baru. Inilah hasil dari sistem yang berasal dari akal manusia, sistem yang bisa berubah sewaktu waktu sesuai pesanan para pemilik modal.
Selain itu, fenomena sosial ini sering kali bersifat simbolik dan seremonial. Banyak kegiatan organisasi perempuan yang gencar di permukaan seperti pengukuhan, pelatihan singkat, atau kampanye literasi tetapi belum memiliki dampak signifikan terhadap perubahan struktur sosial atau kesejahteraan masyarakat. Hal ini mencerminkan bagaimana pembangunan di bawah sistem kapitalis-sekuler lebih menekankan aspek pencitraan dan program jangka pendek ketimbang pembinaan nilai dan moralitas masyarakat.
Disisi lain, dari sudut pandang islam, pembangunan perempuan seharusnya berlandaskan paradigma yang berbeda. Islam memandang perempuan bukan semata sebagai alat pembangun ekonomi tetapi lebih dari itu yakni sebagai pilar utama pembangun peradaban. Perempuan memiliki peran yang menyeluruh yakni sebagai hamba, perempuan memiliki tanggu jawab yakni beribadah kepada allah dan menuntut ilmu agar taraf berfikirnya meningkat. Dalam segi menjadi Ibu, perempuan berperan sebagai ummu wa rababatul bait yakni menjadi pendidik langsung bagi generasi generasi dimasa depan. Sedangkan dalam bidang sosial perempuan diposisikan menjadi penggerak perubahan dengan beramar ma'ruf nahyi mungkar yakni menyeru oada kebenaran dan mencegah kemungkaran.
Islam tidak pernah melarang wanita berperan dalam ranah publik, Islam justru memberikan wadah bagi perempuan untuk berkontribusi nyata dengan tetap berpegang teguh pada prinsip syariat dan tidak melalaikannya sebagai hamba allah.Maka, pembangunan yang berorientasi Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang seimbang antara tanggung jawab domestik, sosial, dan spiritual.
Dengan demikian, walaupun harapan pemerintah terhadap organisasi wanita di Karawang terkesan positif dan progresif, arah pembangunan yang berbasis sistem kapitalis-sekuler berpotensi menjauhkan perempuan dari peran hakikinya sebagai pembangun peradaban. Pemberdayaan yang tidak disandarkan pada nilai-nilai Islam hanya akan melahirkan perempuan yang aktif secara sosial tetapi kehilangan arah ideologis dan spiritual. Karena itu, perlu ada perubahan paradigma: dari pembangunan yang berorientasi materi menuju pembangunan yang berlandaskan nilai Islam, agar perempuan benar-benar berperan sebagai penopang lahirnya masyarakat beradab dan bernilai.

