Oleh : Ummu Zeyn
Beritakan.my.id, Opini_ Perceraian adalah salah satu hal yang paling tidak diinginkan dalam kehidupan pernikahan. Namun, terkadang situasi dan kondisi dapat membuat seseorang merasa bahwa perceraian adalah satu-satunya jalan keluar dari permasalahan dalam rumah tangga.
Akhir-akhir ini fenomena perceraian kembali menjadi sorotan. Bahkan, dipencarian Google trends kata kunci perceraian kembali populer dan menjadi pencarian tertinggi sepanjang tahun.
Dalam satu dekade terakhir, angka perceraian di Indonesia cenderung meningkat. Dikutip dari laman netralnews.com, tahun 2025 (hingga 1 September 2025): Pengadilan mencatat 317.056 putusan cerai. Angka ini hampir menyamai total sepanjang 2024 meski baru memasuki bulan September, sehingga diperkirakan total 2025 dapat mendekati atau melampaui tahun sebelumnya.
Perceraian banyak dipicu oleh faktor internal, seperti masalah ekonomi, perselisihan terus-menerus, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta faktor eksternal, seperti perselingkuhan dan kurangnya kesiapan pasangan muda. Data menunjukkan mayoritas gugatan perceraian diajukan oleh istri, dengan alasan ekonomi sebagai penyebab dominan.
Namun jika kita telaah lebih dalam, faktor-faktor tersebut hanyalah permasalahan cabang yang menyebabkan banyaknya angka perceraian. Jika dilakukan pendalaman atas penyebab maraknya perceraian maka semuanya pasti akan bermuara pada satu akar masalah, yakni penerapan sistem kehidupan kapitalisme dan juga berbagai turunannya, yaitu liberalisme, sekularisme, dan feminisme.
Dalam sistem kapitalisme, ukuran kebahagiaan ditentukan oleh harta, karier, dan kepuasan pribadi, bukan oleh keberkahan rumah tangga dan ketakwaan kepada Allah.
Sistem pendidikan sekuler juga gagal membentuk kesiapan emosional dan spiritual generasi muda sebelum menikah. Pendidikan hanya mengajarkan bagaimana mencari pekerjaan, bukan bagaimana membangun keluarga. Padahal, persiapan mental, spiritual, dan moral jauh lebih penting daripada kesiapan materi.
Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalistik menekan keluarga dengan biaya hidup yang tinggi, sementara kesejahteraan tidak dijamin oleh negara. Akibatnya, banyak keluarga rentan terhadap konflik karena stres ekonomi. Ketika masalah muncul, sistem sosial tidak memberikan solusi berbasis syariat Islam, tetapi mendorong individu untuk “menyelesaikan sendiri”—bahkan jika itu berarti berpisah.
Dampak perceraian yang paling nyata adalah keruntuhan ketahanan keluarga dan lahirnya “generasi rapuh”. Ketika fondasi rumah tangga hancur, anak-anak adalah korban utama yang harus menanggung beban psikologis.
Padahal, islam memandang keluarga sebagai institusi utama pembentuk peradaban. Maka, ketahanan keluarga tidak bisa dibiarkan bergantung pada kesadaran individu semata. Ia harus dibangun melalui sistem yang menanamkan nilai Islam secara menyeluruh: dalam pendidikan, pergaulan sosial, dan politik ekonomi kehidupan bernegara.
Solusi integral untuk maraknya perceraian ada pada syariat Islam. Islam akan membangun kembali ketahanan keluarga dan menghasilkan generasi yang kukuh. Namun, hal ini memerlukan konstruksi sistem kehidupan yang integral dan berlandaskan akidah Islam. Ada tiga pilar utama yang harus ditegakkan, yang semuanya hanya dapat terwujud secara sempurna dalam bingkai syariat Islam secara menyeluruh.
Pertama, sistem pendidikan harus beralih dari sekadar mengejar capaian materi menjadi fokus pada pembinaan kepribadian Islam (syakhsiyah islamiyah) yang kukuh. Laki-laki disiapkan menjadi qawwam (pemimpin dan penanggung jawab), sementara perempuan menjadi ummun wa rabatul bayit (ibu dan pengatur rumah tangga), serta memahami hakikat pernikahan sebagai ibadah untuk mewujudkan ketenangan (litaskunu ilaiha), ketaatan kepada Allah serta jalan menuju keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
Kedua, interaksi sosial harus diatur berdasarkan syariat Islam untuk menjaga keharmonisan dan kesucian hubungan sosial. Ini mencakup pengaturan interaksi antara laki-laki dan perempuan (ikhtilat), menghilangkan lingkungan yang memicu perselingkuhan dan perzinaan, serta mendorong tegaknya nilai-nilai kehormatan dan rasa malu (hifzh al-‘ird).
Ketiga, kesejahteraan keluarga dan masyarakat dijamin oleh sistem politik ekonomi Islam. Hal ini untuk menghilangkan tekanan ekonomi sebagai pemicu perceraian. Negara memiliki kewajiban utama untuk menjamin kesejahteraan rakyat dengan menyediakan lapangan kerja dan upah yang adil, mengelola sumber daya alam secara merata untuk kemakmuran umum, memberikan tunjangan dan perlindungan ekonomi bagi keluarga miskin dan kepala keluarga yang tidak mampu bekerja.
Tiga solusi ini yang mencakup aspek individu, sosial, dan negara adalah prasyarat mutlak untuk membangun keluarga dan generasi yang tangguh. Namun, implementasi ketiga pilar ini secara utuh dan konsisten tidak mungkin tercapai di bawah sistem sekuler kapitalisme.
Krisis perceraian yang marak adalah manifestasi nyata kegagalan sistem saat ini dalam menjaga kehormatan manusia, martabat keluarga, dan masa depan generasi. Solusi parsial dan tambal sulam tidak akan efektif mengatasi akar masalah yang bersifat sistemik dan ideologis. Untuk menghentikan keruntuhan keluarga dan mencegah lahirnya generasi yang semakin rapuh, diperlukan perubahan mendasar dalam skala negara.
Maka, penegakan Islam secara kafah (menyeluruh) melalui penerapan syariat Islam secara totalitas adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat.
Wallahu A'lam Bi Ash-Shawwab
