![]() |
| Sumber Ilustrasi : iStock. |
Oleh : Rika Lestari Sinaga, Amd.
Pada akhir November lalu banjir bandang disertai tanah longsor melanda sejumlah wilayah di pulau Sumatera. Tepatnya di tiga provinsi yaitu Aceh,
Sumut dan Sumbar. Tercatat sejak 22 November
hingga kini, awal Desember 2025, beberapa wilayah terisolasi dan tergenang air yang
berlumpur sampai ke atas atap rumah warga.
Data korban yang meninggal dunia dan yang masih hilang pun terus
bertambah seiring waktu. Menurut data terbaru dari BNPB (04/12), korban meninggal dunia sebanyak 811 jiwa, hilang 623 jiwa, luka-luka sekitar 2.600 jiwa, kerusakan infrastruktur 10.600 dengan jumlah
pengungsi dari 3 provinsi yang terdampak mencapai sekitar 3,2-3,3 juta jiwa. Dengan
dampak dan kerusakan yang sangat parah tersebut, korban bisa saja terus
bertambah dikarenakan masih terdapat wilayah yang masih terisolir dan hilang
dari permukaan.
Banyak beredar di platform media sosial tentang keadaan wilayah yang diterjang
banjir bandang dalam kondisi yang sangat mencekam. Air bah dan longsoran tanah
yang datang bersamaan secara tiba-tiba menyapu apa saja yang dilewatinya. Tak sedikit pula di dalam material air bah tersebut ikut membawa gelondongan kayu dan
batu besar dalam jumlah yang banyak.
Dunia pun seketika tercengang dengan apa yang terlihat pada video-video amatir
yang beredar di platform media sosial. Mengapa banyak sekali
gelondongan-gelondongan kayu dalam ukuran yang beraneka ragam?. Dari potongan
kecil hingga sangat besar. Dari manakah kayu-kayu ini berasal?
Berdasarkan laporan terkait kerusakan hutan pada tahun 2025 ini, telah terjadi perambahan hutan secara besar-besaran atau
deforestasi hutan di Aceh, Sumut dan Sumbar. Luas hutan hilang/deforestasi pada
provinsi Aceh sekitar 14.000 hektar antara 1990-2024, pada tahun 2023 tercatat
8.906 ha hutan hilang dari Aceh. Di Sumut, di daerah DAS/Batang Toru kehilangan hutan sekitar 19.000 ha (yang dilaporkan) , data 2001-2024 Sumut kehilangan sekitar 1.6 juta hektar deforestasi.
Sementara di Sumbar deforestasi sekitar 10.521 ha hutan menurut laporan 2025.
Dari semua data deforestasi ketiga provinsi tersebut bisa mencakup
aktifitas pembalakan legal atau ilegal, konversi lahan sawit, pertambangan,
kerusakan ekologis, penggundulan dan sebagainya. Hilangnya hutan di ketiga
provinsi ini, terutama di provinsi utara/selingkar DAS (seperti Batang Toru di
Sumut), telah dikaitkan oleh para aktivis dan lembaga lingkungan dengan
meningkatnya resiko bencana seperti banjir dan longsor. Menurut pernyataan
resmi resmi 2025 dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), deforestasi alias
pengurangan tutupan hutan adalah salah satu faktor penyebab memburuknya dampak
bencana hidrometeorologi di provinsi-provinsi tersebut.
Dan menurut laporan dari WALHI, sejak 2016-2025, sekitar 631 perusahaan
yang meliputi pemegang izin tambang, konsesi sawit (HGU), izin pemanfaatan
hutan (PBPH), proyek geometral/PLTA/PLTM disebutkan sebagai pihak yang
berkontribusi terhadap deforestasi di Aceh, Sumut dan Sumbar. Deforestasi
massal di tiga provinsi ini sering terjadi lewat kombinasi pembalakan ilegal
ditambah izin serta alih fungsi lahan. Misalnya konsesi sawit atau tambang yang
diberikan izin di kawasan hutan, kadang lewat revisi tata ruang.
Beginilah ketika kehidupan manusia diatur dalam sistem kapitalisme-sekuler.
Sistem ini mengusung paham liberalisme (kebebasan), termasuk kebebasan dalam
hal kepemilikan. Hingga menghasilkan jiwa-jiwa rakus pada pelaku sistem
tersebut. Sistem kapitalisme membuka jalan selebar-lebarnya bagi oligarki untuk
menambah pundi-pundi harta dari arah mana saja, dengan cara apa saja, sekalipun harus mengorbankan masyarakat. Sementara disisi lain, fungsi negara dalam
sistem ini hanya sebagai regulasi bahkan alat untuk mewujudkan target oligarki-oligarki
tersebut.
Sehingga, kawasan hutan yang sejatinya merupakan hak umum, kepemilikan
umum untuk menjaga keseimbangan alam hidup manusia, tak luput menjadi lahan
cuan bagi para oligarki. Memang benar bahwa cuaca ekstrem yang melanda pulau
Sumatera menjadi pemicu bencana alam yang terjadi, namun jika manusia pandai
menjaga kelestarian alam dan keseimbangannya, maka bencana alam yang terjadi
tidaklah separah dan semencekam ini keadaannya.
Kerusakan akibat ulah tangan
manusia-manusia yang rakus dan dzolim kini menjadi penyebab utama dari besarnya dampak
bencana alam tersebut. Padahal Allah sudah mengingatkan manusia di dalam
Al-qur’an:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat
mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali
(ke jalan yang benar). (Q.S
Maka, sudah saatnya manusia diatur oleh sistem yang berasal dari Sang
Khaliq, dari Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu sistem pemerintahan Islam. Bencana ini merupakan momen muhasabah atas seluruh manusia karena telah mengabaikan hukum-hukum Allah dalam kehidupan.
Allahua'lam.
-----
Editor : Vindy Maramis
