Fatherless, Buah Pahit Sistem Sekuler

Goresan Pena Dakwah
0



Ilustrasi Ayah dan Anak (pinterest)

Oleh:  Zaymah Bubiyah 

Pegiat Pena Banua


Beritakan.my.id, Opini--Di tengah riuhnya dunia modern, ada suara yang perlahan memudar, suara seorang ayah. Ia masih hadir di rumah, namun kerap tak benar-benar ada. Fenomena ini dikenal sebagai fatherless society, masyarakat tanpa ayah, di mana jutaan anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah yang utuh, baik secara fisik maupun psikis.


Menurut laporan Kompas.id (10-10-2025), fenomena ini kini menjadi pembahasan hangat di media sosial. Banyak anak muda berbagi kisah kehilangan figur ayah dan bagaimana hal itu membentuk kepribadian mereka di masa dewasa. Mereka bukan yatim, tetapi tumbuh dengan rasa kehilangan yang sulit dijelaskan,  kehilangan yang tak terlihat, namun terasa dalam setiap ruang kehidupan.


Data menunjukkan bahwa jutaan anak di Indonesia mengalami fatherless, entah karena perceraian, penelantaran, atau karena ayah terlalu sibuk bekerja. Menurut artikel Tagar.co (8-10-2025), fenomena ini menjadi alarm sosial yang mengancam masa depan generasi Indonesia. Banyak anak tumbuh dengan rasa hampa, minim teladan, dan kehilangan arah emosional. Mereka tumbuh tanpa kehangatan pelukan dan bimbingan sosok ayah yang seharusnya menjadi qawwam , pelindung dan penuntun dalam keluarga.

Baca juga: 

Saatnya Gen Z Sadar Politik!


Sementara itu, laporan dari VOI.id (11-10-2025) menyoroti sisi ekonomi yang menekan banyak keluarga. Desakan kebutuhan membuat para ayah harus bekerja lebih lama, bahkan hingga meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama. Akibatnya, meski secara fisik hadir, ayah tak memiliki ruang waktu untuk berinteraksi dan membangun kedekatan emosional dengan anak. 


Fenomena ini bukan hanya tentang kehilangan figur laki-laki dalam keluarga, tapi juga mencerminkan kerusakan sistemik dari gaya hidup kapitalistik-sekuler yang menuntut manusia bekerja tanpa batas demi materi. Dalam sistem ini, nilai kebersamaan tergantikan oleh produktivitas, dan peran keluarga terpinggirkan oleh tuntutan ekonomi.


Fenomena fatherless bukan muncul dari ruang hampa. Ia adalah buah dari sistem hidup kapitalistik yang memisahkan nilai spiritual dari kehidupan sehari-hari. Dalam sistem ini, laki-laki diukur dari seberapa besar penghasilannya, bukan dari sejauh mana ia hadir bagi keluarganya. Para ayah tersita waktunya di jalan, di kantor, di proyek, mencari nafkah tanpa akhir. Mereka menjadi “mesin ekonomi” yang kehilangan makna keberadaan sebagai pemimpin, pelindung, dan pendidik dalam rumah tangga.


Banyak anak fatherless mengalami kesulitan membangun kepercayaan diri dan stabilitas emosi. Ketiadaan figur ayah menimbulkan dampak psikologis mendalam, mulai dari kecemasan sosial hingga rendahnya kontrol diri. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak fatherless lebih rentan terhadap kenakalan remaja dan kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat (Kompas.id, 10-10-2025). 


Hilangnya fungsi qawwam ,  pemimpin dan penjaga dalam rumah tangga , menjadi refleksi nyata dari bagaimana sistem sekuler telah menafikan peran laki-laki sebagai pendidik moral. Di sisi lain, perempuan juga terbebani peran ganda, karena harus menanggung tanggung jawab ekonomi sekaligus pengasuhan, akibat hilangnya keseimbangan dalam struktur keluarga.

Baca juga: 

Two State Solution Sebuah Ilusi


Dalam pandangan Islam, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang harus dijaga keseimbangannya. Islam menempatkan ayah dan ibu dalam peran yang saling melengkapi,  ayah sebagai qawwam (pelindung, penanggung jawab, dan pemberi rasa aman), dan ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya.


Kisah Lukman al-Hakim dalam Al-Qur’an menggambarkan ayah yang tidak hanya memberi nafkah, tetapi juga menjadi pendidik spiritual bagi anaknya. Ia menasihati, mengajarkan hikmah, dan menanamkan tauhid dalam diri sang anak.


Sistem Islam memahami bahwa untuk menjalankan peran itu, seorang ayah harus disokong oleh negara. Negara bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja yang layak dan upah yang cukup, sehingga ayah tidak perlu bekerja berlebihan hanya untuk bertahan hidup. Dengan sistem ekonomi Islam, nafkah tidak lagi menjadi beban berat, tetapi tanggung jawab yang didukung oleh mekanisme negara yang adil.


Selain itu, Islam juga mengenal konsep perwalian, yang memastikan bahwa setiap anak memiliki figur pelindung laki-laki, bahkan jika ayah biologisnya tiada. Ini menunjukkan betapa Islam menjaga struktur sosial agar tidak ada anak yang tumbuh tanpa bimbingan dan perlindungan.

Baca juga: 

Isu Konvergensi, Eufimisme Makna Pluralisme


Fatherless bukan sekadar kehilangan seorang ayah; ia adalah cermin dari dunia yang kehilangan keseimbangan. Ketika sistem sekuler menempatkan uang di atas nilai, maka yang hilang adalah kasih sayang, kehadiran, dan arah hidup yang bermakna. Sudah saatnya para ayah kembali, bukan sekadar pulang ke rumah, tapi hadir dalam rumah. Hadir dengan waktu, perhatian, dan cinta.


Dan sudah saatnya pula sistem kehidupan berubah: dari sistem yang menindas waktu keluarga menjadi sistem yang menumbuhkan kasih sayang dan tanggung jawab. Dalam Islam, ayah bukan sekadar pencari nafkah, melainkan penuntun generasi. Maka, mengembalikan peran ayah berarti menyelamatkan masa depan umat. Wallahu a'lam bishshawwab. [ ry].

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)