Ilustrasi Pinterest
Oleh Ida Paidah, S.Pd
Beritakan.my.id, Opini_ Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Teuku Faisal Fathani menegaskan bahwa kesiapan bencana harus menjadi budaya dan cara pandang hidup masyarakat Indonesia. Pernyataan ini disampaikan dalam peringatan 10 tahun Sekolah Lapang Gempa bumi (SLG) yang digelar di Auditorium kantor Pusat BMKG, Jakarta, Selasa (18/11).
Tingginya potensi bencana di Indonesia menuntut kesadaran kolektif yang berkelanjutan. Letak Indonesia pada pertemuan empat lempeng tektonik dunia (Indo-australia, Eurasia, Filipina dan Pasifik) menyebabkan memiliki 13 segmen subduksi dan lebih dari 295 sesar aktif.
Menurutnya, kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu kawasan seismic paling aktif di dunia. Data BMKG mencatat rata-rata terjadi 30 ribu gempa bumi setiap tahunnya. Sehingga sering terjadi banjir, longsor hingga puting beliung di beberapa daerah, kebakaran hutan, bencana datang silih berganti.
Berulangnya bencana di berbagai daerah di Indonesia, tidak serta merta dilakukan penanganan pada para korban bencana tersebut menjadi tertib dan efisien. Malah sebaliknya banyak warga yang terabaikan, BNPB dan BPBD kesulitan dalam proses evakuasi akibat kendala cuaca, medan dan keterbatasan tim.
Di banyak daerah rawan, tanda-tanda longsor terlihat jelas, retakan tanah, kemiringan lereng yang ekstrem, atau hutan yang gundul. Upaya mitigasi seperti pembuatan sabuk hijau, relokasi warga, atau pembangunan dinding penahan tanah sering terbentur masalah pendanaan, birokrasi atau penolakan masyarakat. Ketika longsor terjadi barulah perhatian dan anggaran mengalir, semestinya pencegahan jauh lebih murah dan efektif.
Memprihatinkan bukan hanya peristiwanya, melainkan bagaimana penanganan bencana sering kali berlangsung lamban, reaktif bukannya sistematis dan berorientasi pencegahan.
Anggaran dan perhatian publik sering lebih condong pada penanganan pasca bencana dibanding upaya mitigasi yang justru lebih murah. Belum lagi terjadi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat, daerah dan lembaga penanganan bencana, menyebabkan lambatnya pengambilan keputusan. Di tambah alih fungsi lahan, illegal logging dan pembangunan tak terencana semakin memperbesar dampak bencana.
Mengubah pola penanganan bencana dari insidental menuju sistemik membutuhkan transformasi menyeluruh. Mulai dari kesadaran masyarakat, saling kerja sama yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah berkesinambungan juga dengan lembaga-lembaga penanganan bencana.
Konstruksi Islam
Paradigma Islam soal bencana memiliki dua dimensi, ruhiyah dan siyasiyah. Dimensi ruhiyah, memaknai bencana sebagai tanda kekuasaan Allah, menumbuhkan rasa iman dan tawakal pada setiap individu. Sedangkan dimensi siyasiyah terkait kebijakan tata kelola ruang, bukan sekadar respon politik sesaat dan mitigasi bencana, bukan beban anggaran.
Edukasi Ruhiyah dengan memahamkan ayat-ayat dan hadits terkait bencana akibat ulah manusia, merusak alam merupakan perilaku yang tercela dan membahayakan kehidupan, merusak ekosistem. Ditanamkan sikap bersabar, saat bencana melanda, karena kesabaran merupakan kebaikan bagi orang beriman.
Serta berserah diri kepada Allah dan yakin bahwa segala sesuatu terjadi atas izin-Nya. Menyadari bahwa bencana bisa menjadi pengingat untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah, serta menghargai alam.
Peran negara dan pemerintah akan melakukan mitigasi bencana secara serius dan komprehensif dalam rangka menjaga keselamatan jiwa rakyatnya. Kemudian melakukan pembangunan fisik yang aman, seperti membangun kanal dan non fisik seperti memiliki pengetahuan kebencanaan, menghindari membangun di daerah rawan, serta menjaga stabilitas sosial-ekonomi.
Saat bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab memberikan bantuan secara layak. Pendampingan pada para korban bencana dilakukan secara berkala sesuai dengan kebutuhan, sampai para penyitas mampu menjalani kehidupannya secara normal kembali pasca-bencana.
