Oleh Heni W
Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia. Salah satu kutipan populer Ir.Soekarno menggambarkan betapa pentingnya peran pemuda dalam memengaruhi negara ke depannya. Menarik benang merah antara pemuda atau pemudi dengan era saat ini, manusia mulai memasuki transisi dari era 4.0 ke era 5.0. Di mana konsep teknologi Ai mulai menjadi lebih matang dari pada era sebelumnya yaitu era 4.0 yang memiliki fokus untuk efesiensi.
Teknologi telah berhasil menciptakan berbagai macam ruang digital tanpa batas. Generasi saat ini telah terkena tsunami informasi, tanpa filter mampu menjelajahi berbagai banyak hal hanya menggunakan satu klik ponsel pintar. Akses pengetahuan menjadi tak terbatas, di sisi lain kemampuan memilah informasi, atau nalar kritis mengalami degradasi.
Persoalan ini sudah seringkali dibahas di berbagai media, sayangnya sampai saat ini belum ada tindakan yang memberikan dampak secara signifikan. Hal ini terbukti dalam kolom opini media nasional. Sebagai contoh, sebuah artikel di kompas.com (21/11/2025) dalam berita terbarunya yang berjudul "Ketika dampak negatif konten di Media Sosial berlari lebih cepat dari takedown" secara implisit menunjukkan bahwa ruang digital saat ini menjadi ancaman dari berbagai arah yang berbahaya bagi generasi muda.
Seperti disebutkan oleh Meutya di FX Sudirman, produksi konten negatif jauh lebih cepat daripada proses takedown. Hal ini juga dibarengi fakta bahwa penetrasi internet mengalami peningkatan tiap tahunnya. Menurut Survei terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2025 mengungkapkan bahwa ada 229,4 juta pengguna internet di Indonesia, dengan tingkat penetrasi menyentuh 80,66% dari total populasi.
Adanya konten yang rusak memengaruh cara berpikir, cara bersikap, bahkan memengaruhi cara beragama. Jika menelusuri lebih jauh lagi, digitalisasi cenderung menyibukkan pemuda hanya untuk mengejar materi dan validasi yang membuat para pemuda melupakan potensi hakiki mereka, yaitu potensi menjadi generasi intelektual. Hanya segelintir pemuda yang benar-benar memanfaatkan digitalisasi.
Digitalisasi juga dominan membawa arus ide sekuler dan liberal dengan mengusung tema-tema kebebasan dan gaya hidup yang hedonis dengan mudah dapat kita temui, seolah-olah kebahagian hanya bisa didapatkan melalui materi yang bisa diukur. Tak hanya kebahagiaan arus ini juga berhasil menebarkan rasa ketakutan. Misalnya, saat ini salah satu trend marry is scary istilah yang digunakan di media sosial untuk menggambarkan ketakutan atau kekhawatiran mengenai pernikahan.
Tak hanya itu, melakukan apa saja agar memilliki konten yang viral juga dilakukan . Seperti produk parfum tapi konten yang digunakan perselingkuhan. Hari-hari generasi muda lebih suka mengonsumsi drama dari pada berita. Hal-hal ini menciptakan standar hidup yang rusak. Konten yang dikonsumsi inilah yang melahirkan generasi muslim yang split personality, rapuh, dan sekuler.
Era digital saat ini menjadi persoalan yang krusial dengan melihat perkembangan teknologi yang kian masif. Kemajuan ini ternyata tak hanya membantu tetapi tanpa disadari begitu banyak dampak negatif yang ditimbulkan. kemajuan teknologi tak bisa dihindari, tapi tanpa adanya kontrol bisa menjadi sumber bencana bagi generasi.
Lalu bagaimana dengan peran negara? Negara seperti bekerja tapi tidak berdampak. Kian hari bahkan negara seolah-olah tak punya kuasa, karena digitalisasi didasarkan pada kapitalistik, melepaskan nilai moral dan aqidah asal menguntungkan. Negara punya kuasa tapi seolah-olah tak bisa apa-apa. Digitalisasi bagai pisau bermata dua yang jika tidak diarahkan dengan benar hanya akan merugikan bahkan membunuh manusia. Solusi pemerintah yang diberikan pemerintah belum mampu untuk menyelesaikan masalah.
Adanya digitalisasi teknologi pada dasarnya boleh dalam Islam selama tidak menyalahi hukum syarak. Penggunaannya pun boleh selama tidak digunakan untuk maksiat. Namun, jika dari perkembangan teknologi justru membawa kerusakan atau bahaya bagi manusia, maka negara harus menyelesaikannya. Bukan dengan menghilangkan teknologinya melainkan mengatur dan memastikan penggunaan teknologi yang aman bagi semua masyarakat. Dengan demikian, ruang digital tidak akan merusak generasi. Wallahu a'lam bishawab. []
