Penculikan Anak Berulang : Paradoks Program Lingkungan Ramah Anak

Admin BeritakanMyId
0

Sumber Ilustrasi : iStock.

 

Oleh : Yulia Fahira

Terkuaknya kasus penculikan anak bernama Bilqis (4,5) yang tengah ramai dibicarakan karena berpindah dari Makassar hingga ke pedalaman Jambi mengundang atensi besar dari masyarakat khususnya para orangtua. Bilqis diculik pada 2 November 2025 di Makassar dan ditemukan pada 8 November 2025 di Jambi. Para pelaku juga melibatkan dan menipu masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) sebagai sasaran penjualan Bilqis untuk menutupi kejahatannya.

Kasus penculikan anak ini bukan sekedar penculikan biasa tapi termasuk dalam sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TTPO). Kasus penculikan anak di Makassar bukan kali pertama terjadi, sebelumnya kasus serupa juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia salah satunya Alvaro yang hilang sejak Maret lalu dan baru ditemukan November 2025 dalam keadaan meninggal dunia. Fenomena penculikan anak diibaratkan seperti gunung es. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 138 kasus penculikan anak yang terlapor terjadi dalam kurun waktu tiga Tahun terakhir. Diyakini kasus dilapangan yang tak terlapor jauh lebih banyak.

Menyikapi peristiwa ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyoroti adanya berbagai faktor penyebab terjadinya penculikan anak, antara lain lemahnya pengawasan, kedekatan pelaku dengan keluarga, penggunaan sosial media untuk memantau aktivitas anak, serta rendahnya pengawasan terhadap lingkungan. Oleh sebab itu menteri PPPA mendorong adanya penguatan peran keluarga melalui pola pengasuhan yang waspada dan responsif. Namun, cukupkah solusinya hanya sekedar penguatan dalam keluarga?


Tindak Kejahatan Menyasar Golongan Rentan

Dari kasus Bilqis dapat kita lihat bahwa dalam tatanan masyarakat terdapat golongan rentan yang mudah dimanfaatkan dan di manipulasi oleh sebagian oknum demi meraih keuntungan. Dari kasus ini, salah satu warga Suku Anak Dalam ikut terseret karena minimnya pengetahuan/informasi dan karakteristik mereka yang polos sehingga mudah dijadikan sasaran penipuan. Keterbatasan mereka dalam membaca dan sikap tulus yang dimiliki menjadikan mereka mudah ditipu oleh segelintir oknum. Para pelaku penculikan Bilqis menipu salah seorang warga suku anak dalam dengan menggunakan surat pernyataan palsu dan meminta uang senilai Rp 85 juta . Ia menerima Bilqis karena rasa iba dan baru mengetahui fakta bahwa anak tersebut ternyata merupakan korban penculikan saat kedatangan polisi untuk menjemput Bilqis. Setelah kejadian tersebut ia merasakan kesedihan dan kehilangan karena terlanjur menyayangi Bilqis, akhirnya ia memilih menenangkan diri (Melangun) kedalam hutan sesuai tradisi mereka.

Kelompok rentan merujuk pada segmen populasi yang memiliki peluang lebih besar mengalami bahaya, diskriminasi, atau kerugian karena berbagai faktor seperti kondisi sosial, ekonomi, geografis maupun fisik. Yang termasuk kedalam kategori golongan rentan ialah anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, perempuan terutama ibu hamil dan menyusui, orang yang mengidap penyakit kronis, masyarakat miskin dan terpencil. Masyarakat dengan golongan ini sering kali menjadi objek tindakan kriminal, baik berupa kekerasan, penculikan bahkan perdagangan manusia. Mereka tak hanya lemah dari sisi akses dan eksistensi terhadap dunia luar, tapi mereka juga lemah dalam sisi ekonomi dan pendidikan. Ini menunjukkan bahwa mereka sangat membutuhkan perlindungan dan keadilan.

Namun sayang, faktanya hari ini yang kita dapati tak ada ruang aman bagi masyarakat golongan rentan terutama anak-anak, baik di rumah maupun di ruang publik. Masyarakat hari ini didominasi oleh perasaan individualis sehingga minim empati terhadap lingkungan sekitar.

Seperti kasus Bilqis, ia di culik saat sedang bermain di taman bermain yang ramai, tapi sayang tak seorangpun yang menyadari aksi penculikan itu sebab pelaku merupakan seorang wanita dan bersama beberapa anak lainnya, tampak kondisi tersebut seperti sebuah keluarga. Padahal mereka tak saling mengenal, hal ini menunjukkan sikap tak acuh sesama masyarakat. Hari ini banyak masyarakat yang kurang peka terhadap lingkungan sosial. Himpitan ekonomi membentuk mereka memiliki mentalitas individual yang hanya mementingkan keamanan dan kenyamanan diri sendiri. Peristiwa ini menunjukkan kegagalan masyarakat dalam menjalankan peranannya sebagai kontrol sosial.

Keadaan seperti ini seolah berbanding terbalik dengan upaya pemerintah dalam menciptakan "Lingkungan Ramah Anak" sebagai bentuk perlindungan terhadap anak-anak yang termasuk kedalam salah satu golongan kelompok rentan. Namun, saat ini lingkungan ramah anak hanya sebatas jargon tanpa adanya realita yang tampak nyata. Kekerasan, penculikan, eksploitasi dan perdagangan anak masih terus terjadi. Miris, kehidupan di dalam sistem kapitalistik tak pernah benar-benar menyelesaikan persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, pemerintah di dalam sistem kapitalis hanya berperan sebagai regulator dan memandang rakyat bukanlah sebuah tanggungjawab melainkan komoditas ekonomi. Jaminan keamanan dan keadilan dalam sistem ini merupakan suatu ketidakpastian.

Oleh karena itu, dapat kita sadari bahwa menciptakan lingkungan ramah anak sebagai wujud perlindungan terhadap anak bukanlah persoalan yang mudah direalisasikan dan tak bisa berdiri sendiri, program ini harus melibatkan segala aspek pendukung seperti, fondasi keluarga yang kokoh, kesadaran dan penguatan masyarakat sebagai kontrol sosial dan adanya aturan dan sanksi yang tegas oleh negara.


Jaminan Keamanan dan Keadilan dalam Sistem Islam

Kehidupan dalam sistem kapitalisme-sekuler sangat memungkinkan terjadinya pelanggaran hukum Syara' yang mengakibatkan kesengsaraan masyarakat. Sistem yang menganut pemisahan agama dalam kehidupan (sekulerisme) ini mampu membuat individu melakukan segala cara demi meraih keuntungan pribadi meski harus mengorbankan orang lain.

Sistem ini dengan lantang menyuarakan Hak Asasi Manusia (HAM), namun nyatanya hanyalah sebuah narasi busuk yang merusak tatanan masyarakat dan mengakibatkan kesengsaraan umat manusia, terutama dalam hal keamanan dan kelayakan hidup.

Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memiliki konsep mengenai maqoshid asy-syar'iyah (tujuan penerapan sistem Islam), yaitu tujuan, hasil atau hikmah dari pelaksanaan syariat Islam. Syeikh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Dirasat Fil Fikri Al-Islami menyatakan delapan aspek kehidupan yang dipelihara dalam penerapan syariat Islam antara lain :

1. Memelihara keturunan (al-muhafazhatu ‘ala an-nasl).

2. Memelihara akal (al-muhafazhatu ‘ala al-‘aql).

3. Memelihara kehormatan (al-muhafazhatu ‘ala al-karamah).

4. Memelihara jiwa manusia (al-muhafazhatu ‘ala an-nafs).

5. Memelihara harta (al-muhafazhatu ‘ala al-mal).

6. Memelihara agama (al-muhafazhatu ‘ala ad-din).

7. Memelihara keamanan (al-muhafazhatu ‘ala al-amn).

8. Memelihara negara (al-muhafazhatu ‘ala ad-daulah).


Dalam kasus penculikan dan perdagangan anak, sistem kapitalisme-sekuler telah gagal memelihara jiwa dan keamanan manusia.

Islam sebagai sebuah agama dan juga ideologi/mabda' memiliki aturan terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Islam juga memiliki sanksi yang tegas terhadap pelaku kejahatan/pelanggaran hukum Syara'. Hal ini berlaku pada semua masyarakat Islam tanpa pandang bulu dan tanpa adanya kepentingan pribadi. Dalam tatanan sistem kehidupan Islam, pemeliharaan jiwa manusia telah diatur dan diperhatikan sebagaimana yang telah disampaikan dalam Al-Qur'an.

"Dan dalam kisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 179) ".

Begitupula dengan jaminan keadilan sebagaimana firman Allah SWT:

"Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri ( tempat kediamannya). Yang kemudian itu ( sebagai )suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan diakhirat mereka peroleh siksaan yang besar." (QS. Al-Maidah : 33)


Sanksi yang diterapkan dalam Islam memiliki fungsi sebagai zawabir (penebus) dosa bagi pelaku kejahatan dan jawazir (pencegahan) bagi yang menyaksikan. Dengan begitu, segala bentuk kejahatan akan dapat ditekan dan dihentikan.

Allahu'alam bishowab.

-----

Editor : Vindy Maramis

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)