Ilustrasi: Duck Syndrome (pinterest)
Oleh : Hernawati Hilmi
Pegiat Pena Banua
Beritakan.my.id, Opini--Fenomena Duck Syndrome semakin marak dibicarakan belakangan ini, khususnya di kalangan generasi muda. Anisa Yuliandri, psikolog dari Career and Student Development Unit (CSDU) FEB UGM, menjelaskan bahwa istilah Duck Syndrome pertama kali digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Stanford University yang tampak tenang di luar, tetapi sebenarnya berada di bawah tekanan batin yang besar.
Fenomena ini, kini tidak hanya terjadi di kampus-kampus luar negeri, tetapi juga marak di Indonesia. Banyak mahasiswa berusaha memenuhi ekspektasi tinggi dari diri sendiri maupun lingkungan: mempertahankan IPK, aktif berorganisasi, magang, ikut lomba, hingga menjaga eksistensi di media sosial (Detik.com, 19-8-2025).
Istilah Duck Syndrome diambil dari gambaran seekor bebek yang terlihat tenang mengapung di atas air, namun kakinya mengayuh dengan sangat cepat di bawah permukaan untuk tetap bertahan. Begitulah kondisi banyak mahasiswa atau generasi muda saat ini: tampak stabil dari luar, namun sesungguhnya diliputi rasa cemas, depresi, bahkan keputusasaan.
Baca juga:
Memalak Rakyat Atas Nama Zakat?
Gen Z dan Tekanan Sistem Kapitalisme
Generasi Z sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan. Namun realitas hari ini memperlihatkan mereka justru terjebak dalam Duck Syndrome. Tekanan yang mereka hadapi muncul dari Sistem Kapitalisme yang mendominasi kehidupan: budaya kompetisi tanpa henti, validasi dari lingkungan sekitar, hingga orientasi pada pencapaian duniawi semata.
Akibatnya, banyak anak muda yang mengalami stres, cemas (anxiety), bahkan depresi. Alih-alih berkembang menjadi generasi kuat yang mampu mengubah dunia, banyak dari mereka justru terjebak pada kesibukan mengejar pencapaian semu. Mereka terlihat sibuk, tetapi hatinya kosong; produktif di luar, tetapi rapuh di dalam.
Baca juga:
Pujian Global Emansipasi, Perempuan dalam Jebakan Narasi
Belajar dari Pemuda Palestina
Bandingkan dengan pemuda Palestina. Mereka hidup di bawah ancaman bom, peluru, dan blokade setiap hari. Namun, jiwa mereka begitu kuat, semangat mereka tidak padam, dan keyakinan mereka kepada Allah begitu kokoh. Apa yang membuat perbedaan besar ini?
Jawabannya adalah pola pikir. Pemuda Palestina dibesarkan dengan akidah Islam, sehingga mereka memahami bahwa hidup bukan sekadar mengejar dunia. Hidup mereka adalah perjuangan menegakkan agama Allah dan mempertahankan kehormatan umat.
Perbedaan pola pikir inilah yang melahirkan perbedaan pola sikap. Pemuda Palestina tetap kuat meski hidup dalam kondisi sulit, sedangkan banyak generasi muda di negeri-negeri Muslim lain merasa rapuh meski hidup dalam keadaan jauh lebih aman.
Kapitalisme melahirkan generasi lemah karena fokusnya hanya pada kenikmatan dunia. Sementara Islam menanamkan pola pikir yang benar, yakni kehidupan ini adalah ladang amal menuju akhirat.
Islam sebagai Solusi
Islam menawarkan sistem hidup yang sempurna, sesuai fitrah manusia, karena datang langsung dari Allah Azza wa Jalla, Zat yang Maha Mengetahui kebutuhan hambaNya. Dalam Islam, standar kesuksesan bukan diukur dari IPK tinggi, banyaknya prestasi, atau pengakuan sosial, melainkan sejauh mana seseorang taat pada Allah dan memberi manfaat bagi umat.
Baca juga:
Tragedi Gaza dan Urgensi Tegaknya Khilafah
Rasulullah Saw. bersabda, "Barang siapa yang akhirat menjadi tujuannya, maka Allah akan menjadikan hatinya kaya, memudahkan urusannya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan hina. Dan barang siapa yang dunia menjadi tujuannya, maka Allah akan menjadikan kefakiran di hadapannya, mencerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya." (HR. Tirmidzi).
Hadist ini menegaskan bahwa mengejar dunia semata hanya akan melahirkan kegelisahan, sementara menjadikan akhirat sebagai tujuan justru mendatangkan ketenangan dan keberkahan hidup.
Fenomena Duck Syndrome sejatinya adalah cerminan rapuhnya generasi yang tumbuh dalam Sistem kapitalisme. Sistem ini mendorong manusia untuk mengejar dunia semata, hingga melahirkan generasi yang tampak kuat di luar namun rapuh di dalam.
Generasi Z memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dunia. Namun potensi itu hanya bisa terwujud jika mereka kembali kepada Islam sebagai sistem hidup. Dengan itulah mereka akan menjadi generasi yang bukan hanya kuat secara mental, tetapi juga berkontribusi nyata dalam membangun peradaban mulia.Wallahu a'lam bishshawwab. [ry].